JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah menargetkan posisi kemudahan berbisnis Indonesia berada pada posisi 40 di tingkat dunia, pada 2020. Oleh sebab itu, pemanfaatan teknologi yang terpadu menjadi strategi andalan dalam mendongkrak peringkat kemudahan berbisnis di Indonesia.
Menurut Bank Dunia, tingkat kemudahan berbisnis (ease of doing business atau EODB) di Indonesia berada pada peringkat ke-73 pada 2019. Posisi ini turun satu peringkat dibanding tahun sebelumnya.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang PS Brodjonegoro, aspek peringkat kemudahan berbisnis menjadi sorotan ketika mempromosikan Indonesia sebagai salah satu tujuan investasi di kancah internasional.
“Investasi ini dibutuhkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia,” ucapnya dalam seminar bertemakan reformasi regulasi di Jakarta, Rabu (13/2/2019).
Namun, Bambang mengatakan, pihaknya mendapatkan keluhan dari pelaku usaha dan pemerintah terkait tumpang-tindihnya regulasi di Indonesia sehingga mempengaruhi nilai kemudahan berbisnis di mata dunia. Akibatnya, investor tidak tertarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Ketidaktertarikan itu salah satunya dipicu oleh jumlah regulasi di Indonesia yang saat ini berkisar lebih dari 150.000 aturan. Bambang berpendapat, angka ini memberikan stigma pada Indonesia sebagai negara yang terlalu banyak regulasi.
Oleh sebab itu, Bambang merencanakan, pihaknya akan menerapkan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI) dan data raksasa (big data) untuk menata dan mengelola regulasi yang ada di Indonesia. Teknologi ini berfungsi untuk menyinergikan tiap regulasi dan kebijakan, mengklasifikasikan regulasi, dan mengorelasikan regulasi.
Baca juga : https://kompas.id/baca/utama/2019/02/06/aturan-tumpang-tindih-bappenas-usulkan-lembaga-pengelola-regulasi/
Pelaku bisnis dalam negeri pun merasakan rumitnya mengurus izin usaha dalam negeri. Secara terpisah, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, pihaknya masih menemui ketidaksesuaian antara peraturan daerah dengan peraturan tingkat pemerintah pusat.
Adanya teknologi kecerdasan buatan dan data raksasa itu juga berpeluang dalam mencegah tumpang-tindihnya suatu aturan. Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Chandra M. Hamzah mengatakan, salah satu penyebab tumpang-tindih aturan di Indonesia ialah, tak ada fungsi evaluasi dan pemantauan terhadap setiap regulasi dan kebijakan.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia M Nur Sholikin menambahkan, Bank Dunia mencatat, rata-rata indeks kualitas regulasi (regulatory quality index) Indonesia sepanjang 1996 – 2016 sebesar -0,36 poin. Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina masih mengungguli Indonesia dalam hal ini.
Selain itu, Staf Ahli Bidang Hubungan Kelembagaan Kementerian PPN/Bappenas Diani Sadia Wati berencana memanfaatkan teknologi pembelajaran mesin (machine learning). Teknologi ini bertujuan untuk menelusuri rekam jejak dan inventarisasi setiap aturan yang ada di Indonesia.
Secara umum, seluruh teknologi terkini yang akan diterapkan Bappenas itu akan melibatkan mahasiswa dalam perancangan dan penerapannya. “Kami harap, Oktober tahun ini dapat selesai,” ucap Diani.
Baca juga : https://kompas.id/baca/utama/2019/02/01/jakarta-etalase-investasi-indonesia-di-mata-dunia/
Dari sisi pelaku ekonomi digital, Chief Public Policy and Government Relations Gojek Indonesia Dyan Shinto Nugroho mengharapkan, pemerintah memanfaatkan teknologi untuk mendukung penyusunan kebijakan berbasis data. Untuk memudahkan usaha rintisan di bidang ekonomi digital, dia mengimbau, penyusunan kebijakan dan aturan berdasarkan prinsip asas praduga tak bersalah hingga terbukti bersalah (presumed innocent until proven guilty).
Optimalisasi OSS
Adapun sistem teknologi terintegrasi dari pemerintah yang saat ini sudah berjalan ialah sistem perizinan terintegrasi berbasis dalam jaringan (daring) atau OSS. Diani mengatakan, pihaknya juga akan fokus pada optimalisasi OSS untuk mendongkrak peringkat kemudahan berbisnis Indonesia.
Menurut Shinta, masalah krusial dari OSS ialah penerapan di tingkat daerah. Dia masih menemui daerah-daerah yang belum terintegrasi secara daring.
Jika pemerintah mampu memperbaiki penerapan OSS di daerah, Shinta optimistis peringkat Indonesia akan meningkat dalam kemudahan berbisnis. Penilaian kemudahan berbisnis akan berlangsung pada Mei mendatang.