Pergerakan Pesawat dan Penumpang di Bandara Sumbar Turun
PADANG, KOMPAS – Pascanaiknya harga tiket dan penghapusan layanan bagasi berbayar, jumlah penumpang pesawat berkurang hingga 30 persen. Sejalan dengan itu pergerakan pesawat di Bandara Internasional Minangkabau, Sumatera Barat turun hingga 20 persen.
General Manager PT Angkasa Pura II Bandara Internasional Minangkabau (BIM) Dwi Ananda Wicaksana saat menerima kunjungan Wakil Gubernur Sumbar Nasrul Abit, Rabu (13/2/2019) sore mengatakan, penurunan mulai terjadi sejak 1 Januari 2019.
“Pergerakan pesawat turun 20 persen yakni dari 80-88 pesawat menjadi 60-70 pesawat per hari. Sementara penumpang, turun dari biasanya 10.000-11.000 orang menjadi 7.000-9.000 orang per hari,” kata Dwi.
Menurut Dwi, meski pergerakan dan penumpang berkurang, namun jumlah maskapai yang mereka layani tetap sama seperti sebelumnya. Hanya saja, yang terjadi adalah pembatalan penerbangan. “Tetapi ada pembatalan. Hal itu karena maskapai melihat minat penumpang (yang turun) dan tidak memenuhi standar operasional mereka,” kata Dwi.
Pergerakan pesawat turun 20 persen yakni dari 80-88 pesawat menjadi 60-70 pesawat per hari. Sementara penumpang, turun dari biasanya 10.000-11.000 orang menjadi 7.000-9.000 orang per hari
Dwi menambahkan, penurunan memang tidak hanya terjadi di BIM, melainkan seluruh bandara di bawah AP II. Paling besar di Bandara Soekarno Hatta. “Semua turun, kecuali di Bandara Silangit, Sumatera Utara. Di sana, pergerakannya masih bagus,” kata Dwi.
Menurut Dwi, meski mengalami penurunan, mereka tidak mengurangi pelayanan. “Pelayanan kami sudah ada prosedur. Tidak ada yang dikurangi. Mau penumpang sedikit atau banyak, fasilitas tetap kami buka. Bandara buka sesuai jam operasional, begitu juga dengan gerai-gerai tetap buka. Kecuali kalau sudah tidak ada penerbangan, mereka (gerai) tutup,” kata Dwi.
Dwi mengatakan, karena penerbangan merupakan bisnis, maka keuntungan berasal dari pergerakan pesawat dan penumpang. “Kalau dibilang rugi, tentu ada penurunan pendapatan, atau di bulan berjalan sudah mengalami kerugian. Tetapi persentasenya belum bisa saya sebut,” kata Dwi.
Pantauan Kompas pada Rabu sore, area pelaporan (check-in) tampak sepi. Hanya satu maskapai yang terlihat melayani calon penumpang. Begitu juga di ruang tunggu. Bangku-bangku yang biasanya penuh di semua gerbang (gate), hanya beberapa yang terisi.
Gerai-gerai yang menjual oleh-oleh juga tampak sepi. Para pelayan terlihat duduk santai sembari memainkan ponsel. “Sebulan terakhir, omzet turun hingga 50 persen. Sejak satu bulan terakhir, biasanya dalam sehari bisa Rp 5 juta, sekarang sekitar Rp 2,5 juta,” kata Irwan, penyelia (supervisor) salah satu gerai makanan ringan di BIM.
Omset turun
Nasrul berharap, kenaikan harga tiket pesawat termasuk bagasi berbayar, tidak berlangsung lama. Apalagi dampaknya semakin terasa. “Semoga bisa pulih dan penerbangan bergairah lagi. Termasuk pariwisata dan UMKM kita,” kata Nasrul.
Meski tidak menyebut angka, namun menurut Nasrul, pascakenaikan harga tiket, wisatawan yang berkunjung menurun hingga 30 persen. Begitu juga omzet Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) turun hingga 30 persen.
Sebulan terakhir, omzet turun hingga 50 persen. Sejak satu bulan terakhir, biasanya dalam sehari bisa Rp 5 juta, sekarang sekitar Rp 2,5 juta
Sebelumnya, Christine Hakim, pengusaha oleh-oleh sekaligus pemilik Kripik Balado Christine Hakim mengatakan, keputusan maskapai menghapus layanan bagasi gratis mulai berdampak pada usahanya yang berlokasi di kawasan Jalan Nipah, Padang Selatan. Dia mencatat omzet hariannya turun hingga 35 persen. “Jika biasanya sehari dapat Rp 30 juta, sekarang sekitar Rp 20 jutaan,” kata Christine.
Hal serupa juga disampaikan Rani, penanggung jawab Sanjai Balado Ummi Aufa Hakim di kawasan Jalan Veteran, Padang Barat. Menurut Rani, omset mereka turun hingga 50 persen. “Pengunjung juga agak sepi sekarang. Saya menduga ini karena tiket ke Padang juga mahal. Jadi ya, masalahnya dua. Belum selesai urusan tiket, mereka juga dihadapkan pada persoalan biaya bagasi,” kata Rani.
Baik Christine maupun Rani menuturkan, sejak penghapusan layanan bagasi gratis, perilaku konsumen yang datang ke toko mereka berubah. “Sebelumnya mereka biasa-biasa saja. Datang, pilih, dibungkus kardus, bayar, dan selesai. Itu pun beli banyak. Sekarang, mereka minta ditimbang terlebih dahulu dan tidak mau memakai kotak besar. Tamu yang biasa menerima jasa penitipan dari teman juga sekarang hampir tidak ada lagi,” kata Christine.
Baca juga Omzet UMKM Oleh-oleh di Padang Turun hingga 50 Persen
Rani menambahkan, karena menolak menggunakan kotak besar, pembeli yang tetap ingin membawa oleh-oleh dalam jumlah besar, membagi belanjaan ke kotak kecil dan tas plastik. “Kondisi itu juga kami siasati dengan menawarkan kepada pembeli oleh-olehnya dipaket dan dikirim dengan jasa pengiriman. Rata-rata memilih ini karena kalau dihitung, lebih murah dari tarif bagasi yang harus mereka bayar,” kata Rani.
Menurut Christine, jika kondisi terus berlanjut, ia khawatir dampaknya akan semakin buruk. Apalagi selain memproduksi sendiri, ia juga menjual berbagai oleh-oleh yang diproduksi usaha mikro kecil menengah (UKM) dari berbagai daerah Sumatera Barat.
Baca Citilink Juga Akan Kenakan Bagasi Berbayar
“Saat ini, saya menerima produksi dari sekitar 300 UMKM dengan total produk sekitar 700. Tetapi dengan kondisi seperti sekarang, pilihannya yang mengurangi pasokan. Tidak mungkin mengambil seperti biasa. Misalnya dari biasa 50 bungkus, dikurangi jadi 40 bungkus,” kata Christine.
Saat ini, saya menerima produksi dari sekitar 300 UMKM dengan total produk sekitar 700. Tetapi dengan kondisi seperti sekarang, pilihannya yang mengurangi pasokan. Tidak mungkin mengambil seperti biasa. Misalnya dari biasa 50 bungkus, dikurangi jadi 40 bungkus
Selain ke UKM, ia khawatir akan berdampak juga kepada karyawannya yang berjumlah lebih dari 100 orang. Tapi Christine berharap dan berusaha jangan sampai ada pengurangan karyawan.