Pemerintah Daerah Didesak Membuat Entitas Tunggal Lembaga Kebudayaan
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
DEPOK, KOMPAS - Pemerintah daerah diminta segera merumuskan entitas tunggal lembaga kebudayaan di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota guna memastikan berjalannya pelestarian cagar budaya serta berkembangnya berbagai program kebudayaan. Tanpa adanya kebijakan daerah, pengelolaan program kebudayaan sulit berlangsung terarah dan terukur.
"Belum ada aturan turunan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan," kata Ketua Dewan Kesenian Jember, Jawa Timur, Eko Suwardono, ketika menyampaikan hasil diskusi mengenai pemajuan kebudayaan pada Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan 2019 di Depok, Jawa Barat, Rabu (13/2/2019).
Belum adanya aturan turunan kedua undang-undang tersebut menyebabkan pengelolaan cagar budaya, taman budaya, dan tempat-tempat kebudayaan lainnya tidak terarah. Organisasi kebudayaan yang ada di daerah tidak bisa membuat program kegiatan yang lengkap karena ketidakjelasan aturan.
Belum adanya aturan turunan kedua undang-undang tersebut menyebabkan pengelolaan cagar budaya, taman budaya, dan tempat-tempat kebudayaan lainnya tidak terarah.
Eko menuturkan, adanya aturan memungkinkan kegiatan kebudayaan bisa dibiayai melalui anggaran dari pemerintah pusat dan daerah. Setidaknya bisa berjumlah 2,5 persen dari masing-masing APBN beserta APBD yang digunakan untuk pelestarian cagar budaya.
"Pelibatan publik juga harus diperkuat. Ada berbagai komunitas seni, majelis adat, dewan kesenian, dan gerakan masyarakat di setiap daerah. Mereka harus mengisi ruang-ruang publik kebudayaan," katanya. Tanpa adanya pengisian ruang-ruang publik itu, anggaran tidak akan bisa turun karena dinilai tidak efisien.
Data Kementerian Keuangan di tahun 2018 mencatat ada 47.049 sarana dan prasarana pemerintah di bidang kebudayaan. Akan tetapi, 5.000 aset fisik seperti gedung dan lahan justru terbengkalai. Masalah bukan pada kekurangan tempat, tetapi inisiatif memanfaatkan ruang yang tersedia. (Kompas, 19 Desember 2018)
Selain pemanfaatan ruang publik, kerja sama dengan dinas pendidikan juga harus dipererat. Eko mengatakan, salah satunya adalah dengan menggiatkan program seniman masuk sekolah. Metode ini mengakrabkan siswa dengan seni sehingga bisa menarik minat mereka berkunjung dan memanfaatkan ruang-ruang kebudayaan juga mengenalkan siswa pada perilaku toleransi dan prinsip Bhinneka Tunggal Ika.
Dana abadi
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid mengungkapkan, sejak Januari, pemerintah pusat sudah menetapkan dana abadi kebudayaan sejumlah Rp 5 triliun. Sistem yang digunakan sama seperti Dana Abadi Pendidikan, yaitu memanfaatkan bunga tabungan untuk membiayai kegiatan.
Sejak Januari, pemerintah pusat sudah menetapkan dana abadi kebudayaan sejumlah Rp 5 triliun.
"Setiap tahun diperkirakan bisa mendapat bunga sebesar Rp 300 miliar. Akan tetapi, dana ini baru bisa mulai cair pada tahun 2020," ucapnya.
Dana tersebut yang akan digunakan untuk membiayai berbagai program kebudayaan pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Saat ini, dana yang digunakan berasal dari Dana Alokasi Khusus APBN sebesar Rp 129 miliar.
Hilmar menuturkan, hendaknya setiap daerah memiliki program pemajuan kebudayaan yang tidak hanya pada tingkat lokal, namun juga nasional, bahkan internasional. Misalnya dengan mengadakan festival seni setiap tahun untuk memperkenalkan berbagai kekayaan budaya yang ada sekaligus menarik wisatawan.