Menyoal Inkonsistensi Penggambaran Garuda Pancasila
Sebagai lambang negara, bentuk dan visualisasi Garuda Pancasila sebenarnya sudah diatur oleh pemerintah dalam peraturan resmi. Namun, kenyataannya, penggambaran atau visualisasi Garuda Pancasila, termasuk oleh lembaga pemerintah, diwarnai inkonsistensi.
Inkonsistensi itulah yang memantik kegelisahan Nanang Rakhmad Hidayat, pendiri Museum Rumah Garuda, Yogyakarta. Sejak beberapa tahun lalu, Nanang, yang sehari-hari mengajar di Fakultas Seni Media Rekam Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, telah melakukan penelitian terkait Garuda Pancasila. Salah satu yang dia temukan, adalah inkonsistensi dalam penggambaran lambang negara tersebut.
"Inkonsistensi lambang negara bisa jadi menjadi pertanda inkonsistensi negara," kata Nanang dalam Sarasehan Visualisasi Garuda Pancasila, Selasa (12/2/2019) malam, di kantor Dinas Komunikasi dan Informatika Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sarasehan itu merupakan bagian dari acara Pekan Garuda yang digelar pada 11-15 Februari untuk memperingati 69 tahun lahirnya Garuda Pancasila sebagai lambang negara Indonesia. Selain sarasehan, Pekan Garuda juga diisi pameran dan pemutaran film terkait Garuda Pancasila. Merunut sejarah, Garuda Pancasila dirancang oleh Sultan Hamid II dari Pontianak dan diresmikan pemakaiannya sebagai lambang negara pertama kali pada Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat pada 11 Februari 1950.
Nanang menuturkan, bentuk atau visualisasi Garuda Pancasila sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara. Dalam aturan itu dinyatakan, lambang negara Indonesia terdiri dari tiga bagian, yakni Burung Garuda yang menengok dengan kepalanya lurus ke sebelah kanan, perisai berupa jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan semboyan ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda.
Aturan tersebut juga menyatakan, terdapat lima simbol dalam perisai yang tergantung pada leher Garuda sebagai representasi dari setiap sila dalam Pancasila. Sementara itu, pada pita yang dicengkeram oleh burung Garuda terdapat tulisan "Bhinneka Tunggal Ika".
"Inkonsistensi lambang negara bisa jadi menjadi pertanda inkonsistensi negara."
PP No 66 Tahun 1951 juga menyebut, ada tiga warna yang terutama dipakai dalam Garuda Pancasila, yakni merah, putih, dan kuning emas. Selain itu, terdapat pula warna hitam dan warna lain sesuai dengan kondisi di alam. Warna kuning emas dipakai untuk seluruh tubuh Burung Garuda, sementara warna merah dan putih terdapat pada ruangan perisai. Diatur pula bahwa sayap Garuda memiliki 17 bulu, sementara ekornya mempunyai 8 bulu.
Nanang mengatakan, di dalam lampiran PP No 66 Tahun 1951, juga terdapat gambar Garuda Pancasila yang seharusnya menjadi acuan resmi visualisasi. "Di lampiran itu sudah ada gambar Garuda Pancasila yang konkret. Proporsinya digambar di situ, lengkap dengan lebar sayapnya berapa dan tingginya berapa. Bagian per bagian sudah ada," ungkap penulis buku Mencari Telur Garuda itu.
Baca juga : Pancasila Menangkal Intoleransi dan Korupsi
Menurut Nanang, sampai saat ini, gambar Garuda Pancasila dalam lampiran PP Nomor 66 Tahun 1951 masih menjadi acuan pencetakan uang rupiah oleh Peruri, badan usaha milik negara (BUMN) yang diberi tugas pemerintah untuk mencetak uang. Namun, dalam sejumlah keperluan lain, gambar Garuda Pancasila dalam lampiran PP No 66 Tahun 1951 justru tidak menjadi acuan sehingga muncul inkonsistensi.
Masalah visualisasi Garuda Pancasila juga berkait dengan terbitnya Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Di dalam lampiran UU itu, terdapat gambar Garuda Pancasila disertai aturan dalam hal warna dan proporsi.
Namun, Nanang memaparkan, gambar Garuda Pancasila dalam lampiran UU No 24 Tahun 2009 itu ternyata memiliki sejumlah perbedaan dengan gambar Garuda Pancasila dalam lampiran PP No 66 tahun 1951. Perbedaan itu antara lain terdapat pada bagian jambul, jari atau cakar, ekor, bentuk padi dan kapas, serta jenis font atau huruf yang dipakai dalam tulisan "Bhinneka Tunggal Ika".
Baca juga : Nanang Rakhmat Hidayat – Pemburu Burung Garuda Pancasila
Dengan perbedaan itu, berarti saat ini ada dua versi gambar Garuda Pancasila yang sama-sama tercantum dalam aturan resmi negara. "Ini membingungkan. Kenapa gambar yang lama tidak ada masalah dan masih dipakai oleh Peruri untuk mencetak uang kertas dan logam, tapi tiba-tiba muncul gambar baru. Jadi, mana yang harus kita pakai?" kata Nanang yang kini berusia 52 tahun itu.
Lima jari
Masalah menjadi kian rumit karena beberapa tahun lalu ada seseorang yang membuat gambar vektor Garuda Pancasila lalu diunggah ke internet. Gambar vektor merupakan gambar yang dihasilkan dari perpaduan antara titik dan garis dengan rumusan matematika. Gambar jenis ini tidak akan pecah walaupun diperbesar berkali-kali.
Tujuan pembuatan gambar vektor itu barangkali memang baik, yakni untuk memberi acuan kepada pihak-pihak yang membutuhkan visualisasi Garuda Pancasila. "Sekitar 6 tahun lalu, ada seseorang yang membuat gambar vektor Garuda Pancasila. Maksudnya, kalau gambar itu di-copy paste di manapun menjadi sama," kata Nanang.
Sayangnya, menurut Nanang, gambar vektor Garuda Pancasila itu ternyata memiliki sejumlah perbedaan dengan gambar Garuda Pancasila dalam lampiran PP No 66 Tahun 1951. Salah satu yang paling fatal ada pada bagian jari. Dalam gambar vektor, jumlah jari Garuda Pancasila digambarkan ada lima. Padahal, Garuda Pancasila dalam lampiran PP No 66 Tahun 1951 hanya memiliki empat jari.
"Sayangnya, gambar itu telanjur diunggah sehingga yang mengunduh tapi tidak teliti juga akan ikut melakukan kesalahan," ujar Nanang.
Baca juga : Pencarian Siapa Pencipta Lambang Negara Garuda Pancasila
Gambar vektor yang dinilai mengandung kesalahan itu diduga telah diunduh sejumlah pihak dan dijadikan acuan pembuatan visualisasi Garuda Pancasila. Dalam sarasehan tersebut, Nanang menunjukkan spanduk bergambar Garuda Pancasila yang dibuat sebuah kementerian. Namun, setelah diteliti, Garuda Pancasila dalam spanduk itu ternyata memiliki jari berjumlah lima. Gambar Garuda Pancasila di spanduk itu diduga diambil dari gambar vektor yang dinilai bermasalah tersebut.
"Kementerian tersebut pakai gambar vektor yang salah kaprah tadi. Mungkin pembuatan spanduk itu diorder ke biro iklan lalu biro iklannya nyomot gambar di internet dan langsung dipakai," tutur Nanang.
Selain spanduk itu, Nanang juga menemukan inkonsistensi dalam bentuk patung Garuda Pancasila di berbagai kantor dan gedung pemerintahan. Nanang mengatakan, tidak konsistennya visualisasi Garuda Pancasila menunjukkan rendahnya penghargaan terhadap lambang negara itu. Kondisi ini menjadi ironis dibandingkan sikap sejumlah perusahaan swasta yang justru mengatur sangat ketat visualisasi logo mereka.
"Menurut saya, mereka sudah salah memperlakukan lambang negara. Corporate (perusahaan) saja mengatur ketat identitas atau logonya. Sementara Garuda Pancasila ini kan lambang negara," ujar Nanang.
"Yang dibuat oleh masyarakat itu tidak boleh diutak-atik karena itu kan dibuat berdasar kecintaan mereka. Jadi, walaupun tidak punya pengetahuan, mereka tetap membuat." (Nanang Rakhmad Hidayat)
Nanang mengakui, inkonsistensi semacam itu memang ditemukan juga dalam patung atau gambar Garuda Pancasila yang dibuat masyarakat di berbagai wilayah. Namun, menurut Nanang, ketidaksamaan visualisasi oleh masyarakat itu tidak perlu dipersoalkan. Sebab, masyarakat tentu memiliki keterbatasan pengetahuan dan keterampilan sehingga upaya mereka membuat bentuk Garuda Pancasila menjadi tidak sempurna.
"Yang dibuat oleh masyarakat itu tidak boleh diutak-atik karena itu kan dibuat berdasar kecintaan mereka. Jadi, walaupun tidak punya pengetahuan, mereka tetap membuat," papar Nanang.
Untuk menghentikan atau paling tidak mengurangi inkonsistensi yang selama ini terjadi, Nanang lalu mengajak dua orang desainer grafis dari Yogyakarta, yakni Muhammad Fajar dan Rahmad Kurniawan, untuk membuat gambar vektor Garuda Pancasila berdasar lampiran PP No 66 Tahun 1951. Dua gambar vektor itu kini telah selesai dibuat dan ikut dipamerkan dalam acara Pekan Garuda.
Baca juga : ”Kerupuk Pancasila” Ramaikan Pawai Sedekah Bumi di Malang
Nanang menuturkan, dua gambar vektor yang dibuat Fajar dan Rahmad itu diharapkan bisa menjadi acuan bagi pihak-pihak yang ingin membuat visualisasi Garuda Pancasila dalam berbagai medium. Dengan memanfaatkan dua gambar vektor tersebut sebagai acuan, diharapkan visualisasi Garuda Pancasila bisa sesuai dengan PP No 66 Tahun 1951.
Ke depan, gambar vektor buatan Fajar dan Rahmad itu akan disebarluaskan melalui berbagai kanal agar bisa diakses banyak pihak. “Dua gambar itu bisa dipakai oleh siapapun secara cuma-cuma,” ujar Nanang.
Muhammad Fajar menuturkan, sebagai lambang negara, visualisasi Garuda Pancasila seharusnya diatur dengan standar yang baku. Standar itu penting agar gambar Garuda Pancasila yang dicetak dalam berbagai dokumen, misalnya kop surat atau produk hukum, benar-benar sama.
“Kalau brand-brand komersial saja punya standar detail dalam logonya, mengapa lambang negara ini tidak punya standar sampai sedetail itu?” katanya.
Baca juga : Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Perlu Dikaji
“Kalau brand-brand komersial saja punya standar detail dalam logonya, mengapa lambang negara ini tidak punya standar sampai sedetail itu?” (Muhammad Fajar)
Sementara itu, Rahmad Kurniawan mengatakan, Garuda Pancasila merupakan lambang negara yang memiliki filosofi mendalam. Sayangnya, lambang tersebut belum diperlakukan dengan benar-benar baik karena masih muncul banyak inkonsistensi dalam visualisasinya.
Oleh karena itu, Rahmad berpendapat, harus ada upaya mendorong konsistensi dalam visualisasi Garuda Pancasila. Kondisi itulah yang membuat Rahmad tergerak membuat gambar vektor Garuda Pancasila. “Langkah kecil untuk membuat konsisten lambang ini harus dimulai. Apalagi di era digital semacam ini,” ungkapnya.