Tingkah polah anak orangutan (Pongo) tak ubahnya seperti kelucuan bayi manusia yang mengundang orang datang untuk memeluk. “Lihatlah matanya, maka kau pasti jatuh hati,” kata Ketua Borneo Orangutan Survival (BOS) Jamartin Sihite, Rabu (13/2/2019), di Jakarta.
Ia mengatakan, kesamaan deoxyribo nucleic acid atau DNA antara manusia dan orangutan mencapai 97 persen. Diketahui, orangutan merupakan kerabat terdekat manusia. Maka tak heran jika akhirnya kita menyebut Pongo sebagai orangutan yang berarti manusia yang tinggal di hutan.
Namun, pada kenyataannya, hubungan manusia dan orangutan sungguh berkebalikan dengan statusnya sebagai saudara dekat. Perusakan hutan menjadi penyebab utama semakin berkurangnya populasi orangutan di Indonesia.
Lembaga swadaya masyarakat internasional World Wide Fund for Nature (WWF) memperkirakan kini hanya tersisa lebih kurang 104.700 orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus), 13.846 orangutan sumatera (Pongo abeii), dan 800 orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis).
Hal itu memaksa WWF menetapkan status orangutan sebagai satwa rawan punah (critically endangered). Artinya, orangutan hanya setingkat di bawah status kepunahan total di alam liar (extinct in the wild).
Martin menjelaskan, banyaknya kesamaan antara orangutan dan manusia itu pula yang menyebabkan kedua spesies mamalia ini terlibat konflik tak kunjung usai. “Manusia dan orangutan punya selera sama soal pemilihan lokasi untuk bermukim,” katanya.
Pembunuhan orangutan hingga kini terus terjadi di Indonesia. Dengan kejamnya, orangutan ditembak, dipotong, dibakar, bahkan dimakan oleh manusia yang merupakan kerabat dekatnya.
Kesamaan DNA manusia dengan orangutan mencapai 97 persen. Orangutan merupakan kerabat terdekat manusia
Setahun lalu, di Barito Selatan, Kalimantan Tengah, seekor orangutan ditemukan mati dipenggal (Kompas, 16/1/2018). Kekejaman serupa juga pernah terjadi di Kutai Timur, Kalimantan Timur, saat seekor orangutan ditemukan mati dengan 130 peluru senapan angin bersarang di tubuhnya (Kompas, 9/2/2018).
Penggalangan dana
“Kami membutuhkan bantuan untuk menyelamatkan orangutan,” ujar Martin. Untuk itulah, BOS bersama dengan Garda Satwa Indonesia (GSI) menggelar kegiatan pameran dan lelang karya seni yang keuntungannya akan digunakan untuk mendanai upaya penyelamatan satwa.
Kegiatan penggalangan dana bertema A Life Worth Living yang bertempat di Plaza Indonesia itu berlangsung hingga Jumat (15/2). Selain menggalang dana, kegiatan itu juga bertujuan sebagai pengingat bagi manusia untuk senantiasa menunjukkan hormat dan cinta terhadap alam dan seisinya.
“Bumi bukan milik manusia saja, yang lain juga berhak hidup planet ini,” kata Ketua GSI Davina Veronica Hariadi. Oleh karena itu, ia mengajak orang-orang untuk turut berkontribusi menyelamatkan satwa dengan apa pun yang bisa dilakukan. (PANDU WIYOGA)