KUPANG, KOMPAS — Kasus penganiayaan yang menyebabkan kematian pekerja migran asal Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, Adelina Jamira Sau, di Malaysia, 11 Februari 2018 lalu, mandek. Pemerintah Malaysia tidak memiliki undang-undang perlindungan pekerja migran. Pekerja rumah tangga di Malaysia juga diakui sebagai pelayan, hamba.
Hal itu terungkap saat Jaringan Peduli Pekerja Migran Nusa Tenggara Timur melakukan telekonferensi dengan Tenaganita, salah satu lembaga swadaya masyarakat di Malaysia, Selasa (12/2/2019), di Kupang. Telekonferensi dihadiri ibu kandung korban, Yohana Banunaek (58); Ketua Sinode Gereja Masehi Injili di Timor Pendeta Mery Kolimon; serta perwakilan agama Islam, Protestan, Katolik, Hindu, dan Buddha.
Adelina Jamira Sau (19) tewas setelah dianiaya majikan dan ibu majikannya selama Maret 2017-10 Februari 2018 di Malaysia. Korban mengembuskan napas terakhir di RS Penang, Malaysia, 11 Februari 2018.
Direktur Tenaganita, Malaysia, Glorene Das melalui telekonferensi dari Malaysia menyebutkan, meski kematian Adelina sudah satu tahun berlalu, kasus hukum pelaku penganiayaan, yakni ibu kandung majikan, S Ambika (59), dan majikan, R Jayavantiny (32), sampai hari ini tidak jelas alias mandek.
”Semua pihak sulit melacak sampai di mana kasus hukum pelaku penganiayaan yang menyebabkan kematian Adelina. Undang-undang Malaysia tidak melindungi pekerja migran, apalagi pekerja ilegal. Ini pekerjaan berat bagi pekerja pers Malaysia dan Indonesia untuk mendorong pemerintah kedua negara segera membentuk undang-undang perlindungan pekerja rumah tangga,” kata Glorene.
Telekonferensi diawali aksi teatrikal remaja Kupang tentang keadilan hukum dan hak asasi manusia serta doa bersama lintas agama dari perwakilan agama Islam, Katolik, dan Kristen Protestan.
Glorene mengatakan, kasus penganiayaan berujung kematian terhadap pekerja migran asal Indonesia oleh majikan sangat memprihatinkan. Adelina Sau adalah salah satu dari ratusan, bahkan ribuan, pekerja migran Indonesia yang tewas di tangan majikan selama sembilan tahun terakhir. Tahun 2018 saja ada 105 kasus pekerja migran asal NTT tewas di luar negeri, 100 kasus di antaranya di Malaysia.
Tahun 2018 saja ada 105 kasus pekerja migran asal NTT tewas di luar negeri, 100 kasus di antaranya di Malaysia.
Adapun jumlah pekerja migran di sektor rumah tangga di Malaysia saat ini mencapai 300.000 orang. Tidak hanya dari Indonesia, pekerja rumah tangga juga berasal dari Kamboja, India, Vietnam, dan Filipina.
Mereka ini digolongkan sebagai pelayan domestik menurut hukum ketenagakerjaan Malaysia 1955. Mereka ini tidak mendapat hak-hak sebagai pekerja, seperti hari libur dan berobat ke rumah sakit, karena masuk kategori ”pelayan”.
Banyak majikan merasa bebas menyiksa pelayan secara sadis dan tidak manusiawi sehingga berujung kematian. Sementara pekerja yang berupaya melarikan diri karena kekejaman dikenai status penjahat, yang harus dihukum sesuai Akta Imigrasi Malaysia, karena mereka adalah pendatang ilegal. Saat pekerja melarikan diri, semua dokumen keimigrasian dikuasai majikan.
Pendeta Mery Kolimon mengatakan, jika hak pekerja dilindungi hukum dan saat pekerja rumah tangga diakui sebagai karyawan, maka majikan, agen, dan masyarakat Malaysia serta Indonesia akan memberikan rasa hormat terhadap pekerja rumah tangga. Hukum di Indonesia dan Malaysia selama ini mengabaikan pekerja rumah tangga.
Hukum di Indonesia dan Malaysia selama ini mengabaikan pekerja rumah tangga.
”Kedua negara segera membentuk perangkat hukum yang mengakui pekerja rumah tangga sebagai karyawan, bukan pelayan atau hamba,” kata Kalomon. Indonesia yang mengirim warganya ke Malaysia perlu menjamin bahwa warganya diperlakukan secara manusiawi, tidak terperangkap dalam perbudakan dan utang dari majikan dan calo. ”Hak-hak mereka dijamin sebelum berangkat, selama bekerja, sampai mereka pulang ke tanah air,” lanjut Kalomon.
Yohana Banunaek mengatakan, pihaknya berharap pelaku penganiayaan diproses sampai tuntas untuk memberi efek jera. Jika majikan menilai keterampilan pekerja tidak sesuai permintaan, cukup kembalikan pekerja itu ke Indonesia melalui Kedutaan Besar RI setempat.