JAKARTA, KOMPAS — Disahkannya Peraturan Gubernur DKI Nomor 6 Tahun 2019 tentang Upah Minimum Sektoral Provinsi atau UMSP menuai protes, baik dari asosiasi pengusaha maupun organisasi pekerja Indonesia. Aturan itu dirasa memberatkan karena batas upah yang terlalu tinggi yang juga bertolak belakang dengan peraturan yang lebih tinggi.
”Sampai hari ini kami tidak sepakat dengan adanya UMSP karena industri ritel ini bukan lagi sektoral, melainkan sudah masuk dalam industri padat karya. UMSP bisa 6 persen hingga 8 persen lebih besar daripada UMP dan itu tentu memberatkan,” ujar Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia Roy Mandey dalam acara bincang-bincang bertema ”Dilema Upah Minimum Sektoral Provinsi” di Jakarta, Rabu (13/2/2019).
Ia mengatakan, tenaga kerja di industri ritel sekarang hampir empat juta orang. Industri hulu seperti pabrikan atau manufaktur lebih dari 4,2 juta dengan ditambah hilir, yaitu logistik dan transportasi, mencapai hampir 15 juta pekerja.
Oleh karena itu, Roy mengatakan, kepastian atau kelanggengan dari sebuah industri itu juga sangat tergantung pada dukungan regulasi. Apabila regulasi tidak mendukung, sektor atau industri bisa mati, tutup, atau tergerus zaman.
”Awal tahun kami menutup salah satu ritel dengan 27 gerai. Sebanyak 524 karyawan harus dihentikan karena industri ini belum pulih,” kata Roy.
Pasal 14 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 15 Tahun 2018 tentang Upah Minimum menyatakan, apabila tidak ada kesepakatan, gubernur tidak dapat menetapkan UMSP. Namun, saat ini sudah ada tiga provinsi (Medan, Banten, dan DKI Jakarta) yang menyetujui kenaikan UMSP itu.
”Ini yang kami pertanyakan sehingga akan terus disuarakan untuk kiranya dapat ditinjau kembali UMSP untuk industri ritel,” ujar Roy.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengungkapkan, kebijakan UMSP jangan hanya dilihat sebagai tanggung jawab perusahaan. Pemerintah juga harus menyikapi dengan bijak dan berkewajiban membantu.
”Tingkatkan saja subsidi agar pekerja mendapatkan kesejahteraan. Dampak kenaikan upah ini akan percuma jika upah naik dibarengi harga barang yang pada akhirnya ikut naik. Harus didukung aktif oleh pemerintah daerah untuk menyubsidi,” kata Timboel.
Sementara Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) DKI Jakarta Andri Yansyah mengatakan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah mempersiapkan beberapa upaya untuk bisa menyejahterakan pekerja.
”Untuk mengatasi itu semua, kami juga melakukan sebuah kebijakan dengan kartu pekerja sembari tetap mengevaluasi,” kata Andri.
Pemilik kartu pekerja akan memperoleh beberapa manfaat, antara lain mendapat biaya transportasi gratis dengan menggunakan bus Transjakarta, bagi anggota JakMart akan memperoleh fasilitas lebih, pekerja juga akan mendapat subsidi pangan.
Misalnya, harga telur yang sekitar Rp 24.000 hanya cukup membayar dengan Rp 10.000, beras 5 kilogram dengan harga antara Rp 65.000 dan Rp 70.000 cukup membayar Rp 30.000, dan daging ayam yang harganya sekitar Rp 35.000 cukup membayar Rp 8.000.
Selain itu, pekerja yang mempunyai anak SD mendapat subsidi KJP Plus. Tunjangan pendidikan untuk anak yang duduk di bangku SD akan mendapat Rp 250.000 per bulan, SMP Rp 300.000 per bulan, SMA Rp 420.000 per bulan, dan perguruan tinggi Rp 1.800.000 per bulan.
”Itu bagian dari upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk bisa meningkatkan kesejahteraan. Tidak hanya melulu berbicara UMP dan UMSP, tetapi juga bagaimana menekan pengeluaran pekerja dengan adanya subsidi sehingga mereka memiliki tabungan,” tuturnya.
Menanggapi hal itu, Roy Mandey menyambut baik sebab hal itu cukup membantu. ”Tinggal bagaimana nanti ditingkatkan karena hal itu menyangkut pembiayaan juga. Jangan sampai pembiayaan itu hanya sampai di depan, tetapi setelah berjalan beberapa tahun, pembiayaannya hilang atau tidak ada,” katanya. (FRANSISCA NATALIA ANGGRAENI)