Penerbitan Buku-buku Politik Tak Sebagus Sebelumnya
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS - Meski berada di tahun politik, tidak ada peningkatan signifikan terhadap penerbitan buku-buku bergenre politik layaknya yang terjadi menjelang pemilihan umum tahun 2009 dan 2014. Saat ini jumlah judul yang diterbitkan dan penjualan ke pasar relatif tidak banyak berubah dibanding biasanya.
Salah satu penerbit yang banyak menerbitkan buku-buku politik dan hukum adalah Intrans Publishing di Malang, Jawa Timur. Direktur Intrans Publishing, Luthfi J Kurniawan, yang ditemui, Selasa (12/1/2019), mengatakan, jumlah buku yang diterbitkan selama 2019 mencapai 45-an judul yang mana 75 persen di antaranya politik dan hukum tata negara.
“Angka relatif sama dengan biasanya. Biasanya per bukan rata-rata 20 sampai 25 buah judul yang kami terbitkan. Begitu pula dengan penjualannya, saat ini relatif tidak berpengaruh signifikan. Suasananya beda sekali dengan jelang pemilu tahun-tahun sebelumnya,” ujarnya.
Menurut Luthfi tahun 2009 dan 2014 menjadi tahun-tahun gegap gempitanya percetakan buku politik, termasuk Intrans Publishing. Pasalnya 2014 merupakan tahun konstelasi politik, perubahan siklus kepemimpinan setelah dua periode sebelumnya Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.
Namun, lanjut Luthfi, konstelasi politik tahun 2014 sudah dirasakan sejak lima tahun sebelumnya atau tahun 2009. Saat itu banyak istilah politik yang membuat orang haus akan referensi. Dan referensi tersebut bisa didapatkan di buku-buku politik yang kemu dian memicu para penerbit untuk berlomba menghasilkan buku.
“Gegap gempitanya percetakan buku politik terjadi tahun 2009 karena saat itu merupakan fase yang ditengarai oleh pengamat sebagai bagian dari konsolidasi politik. Tahun 2009 dianggap penting untuk menjawab perubahan siklus kepemimpinan di tahun 2014,” katanya.
Adapun saat ini situasinya berubah. Bukan karena perkembangan teknologi komunikasi digial, menurut Luthfi dunia politik memang tidak lagi membangun kontestasi gagasan sehingga tidak lagi menarik buat sebagian masyarakat. Padahal pemilu sejatinya tidak hanya berisi konstelasi politik tetapi juga pertaruhan ideologi yang berimplikasi pada semua kehidupan.
“Sekarang orang masa bodo. Cuman lihat kamu jelek, kamu bagus. Saya rasa ini kegagalan partai juga dalam membangun semua itu,” kata lelaki yang juga menjadi akademisi di Universitas Muhammadiyah Malang ini.
Sementara itu, berbeda dengan dunia penerbitan, penjualan buku-buku berbau politik di pertokoan atau pasar buku baru dan bekas di Jalan Simpang Wilis Indah, Klojen, Kota Malang, akhir-akhir ini meningkat. Sebagian besar pembeli merupakan mahasiswa dan akademisi, lalu masyarakat umum, serta sebagian kecil lainnya politisi.
“Peningkatannya mencapai 30 persen dari biasanya. Yang diminati buku tentang pemilu, partai politik, dan kekuasaan dari penerbit berbeda,” kata Ansoruddin pemilik toko “Sibuk Main Buku” yang khusus menjual buku-buku bertema politik dan sosial. Menurut Ansoruddin peningkaan pembelian mulai terlihat sebelum kampanye dan jumlahnya makin banyak saat kampanye berlangsung.