Pemutusan Kontrak dengan Swasta Harus Segera Dilakukan
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS-- Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta berharap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bisa segera mengambil opsi pemutusan kontrak secara sepihak dengan pihak swasta terkait pengelolaan air. Hal ini diperlukan untuk menekan kerugian negara serta demi penurunan tarif air yang dirasa memberatkan oleh sejumlah warga.
Kuasa Hukum Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) Arif Maulana mengusulkan agar Pemprov DKI Jakarta segera memutus perjanjian kerja sama dengan pihak swasta karena kontrak tersebut tidak sesuai dengan konstitusi.
"Kontrak dengan pihak swasta tersebut sebenarnya tidak sesuai dengan putusan MK tahun 2015 yang secara menyeluruh membatasi partisipasi swasta di sektor air dengan ketat," ucapnya, Selasa (12/02/2019) di Jakarta.
Awalnya, KMMSAJ menjadi pihak yang menggugat dan menolak terkait swastanisasi sejak tahun 2012. Arif menilai, penolakan tersebut berdasarkan keluhan warga yang merasa harga tarif air di DKI Jakarta terlalu mahal dan kualitas pelayanannya buruk.
"Harga air sekitar Rp 7.000 per meter kubik dinilai terlalu mahal oleh sebagian besar masyarakat. Seharusnya berdasarkan hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, tarif air bisa ditekan hingga Rp 3.000-Rp 4.000 per meter kubik," tuturnya.
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, ada tiga opsi yang bisa ditempuh Pemprov DKI Jakarta untuk mengambil alih pengelolaan air dari pihak swasta. Langkah pertama yaitu segera memutus kontrak sepihak dengan Aetra dan Palyja sebagai perusahaan swasta, membiarkan kontrak habis hingga 2023, dan mengambil alih dengan tindakan perdata.
"Karena waktu kontrak yang hampir habis, rasanya tidak mungkin perusahaan swasta melakukan investasi lagi untuk meningkatkan pelayanan," ucap Anies di Kantor Balaikota, Jakarta, Senin (11/02/2018).
Arif menilai, jika pemprov semakin lama menunda pemutusan kontrak ini, maka akan semakin besar kerugian negara yang ditanggung oleh pemerintah. Jika hingga tahun 2023 kontrak dengan pihak swasta masih berlanjut, maka pemerintah harus membayarkan biaya jaminan keuntungan pada perusahaan swasta sebesar Rp 6,7 triliun.
"Opsi memutuskan kontrak secara sepihak memang bisa mengganggu iklim investasi. Oleh sebab itu, Pemprov perlu konsisten melakukan komunikasi dengan pihak swasta agar mereka mau melepas pengelolaan air," katanya.
Berdasarkan data Pemprov DKI Jakarta, cakupan layanan air perushaan swasta tidak mencapai target yang diharapkan. Pada tahun 1998, cakupan layanan pengelolaan air sebesarr 44,5 persen dan pada 2017 baru mencapai 59,4 persen. Padahal targetnya tahun 2023 harus mencapai target sebesar 82 persen.
"Karena dikelola oleh swasta, pemerintah juga jadi terbatas untuk berinvestasi dan memperbaiki kualitas pelayanannya kepada masyarakat. Hal ini tentunya merugikan masyarakat," ucapnya.
Harapan Warga
Marwah (33), warga Kecamatan Cilincing, Jakara Utara berharap harga air bisa lebih murah jika dikelola oleh pemerintah. Sudah setahun lebih ia menggunakan air perpipaan yang dikelola Aetra untuk kebutuhan sehari-hari.
"Kami harus membayar tagihan sekitar Rp 50.000 hingga Rp 70.000 jika sedang banyak penggunaan airnya. Padahal penghasilan suami selama sebulan tidak menentu karena kerjanya serabutan," ujarnya.
Serupa dengan Marwah, Darsiti (61) warga Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara juga berharap pemerintah bisa menurunkan tarif air untuk meringankan biaya hidupnya.
"Warga di sekitar rumah saya juga masih ada yang belum mampu untuk memasang air perpipaan karena biaya pemasangannya cukup mahal," katanya.
Darsiti sudah menggunakan air yang dikelola oleh Aetra sejak tiga tahun lalu. Ia harus merogoh kocek hingga sekitar satu juta rupiah untuk biaya pemasangan air perpipaan.
"Sebelum pasang perpipaan, saya membeli air dari warga yang sudah memasang air perpipaan dengan biaya cukup mahal. Ketika itu saya harus mengeluarkan biaya Rp 12.000 per hari untuk kebutuhan air," ujarnya.
Anggota Tim Evaluasi Tata Kelola Air DKI Jakarta, Tatak Ujiyati mengatakan, tim belum mengkaji berapa harga tarif air jika sudah dikelola oleh pemerintah.
"Kajian kami masih sebatas untuk mengambil-alih pengelolaan, belum sampai ke teknis seperti itu. Namun, kami berharap harga air bisa lebih murah jika dikelola oleh pemerintah," katanya.
Corporate Communication and Social Responsibility Division Head Palyja Lydia Astriningworo masih belum mau berkomentar terkait keinginan pemerintah untuk mengambil alih pengelolaan air.
"Mohon maaf, untuk permintaan wawancara masih belum bisa kami penuhi," katanya.