TANGERANG, KOMPAS — Pemerintah menelusuri penyebaran kasus kusta baru di tengah masyarakat. Langkah itu dilakukan sebagai upaya deteksi dini agar penularan kusta bisa ditekan. Targetnya semua provinsi di Indonesia aman dari serangan penyakit kusta.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono mengatakan, penelusuran melalui survei desa cepat (rapid village survey/RVS), terutama di daerah endemis. ”Kita berupaya menemukan lebih dini dengan cara proaktif melalui RVS terintegrasi dengan PISPK (program Indonesia sehat dengan pendekatan keluarga) untuk memutus transmisi penularan,” kata Anung di sela-sela Rapat Kerja Kesehatan Nasional Kementerian Kesehatan di Tangerang, Banten.
Melalui program yang digalakkan sejak 2017 itu, warga terduga kusta diperiksa petugas kesehatan. Jika positif, pasien segera diobati untuk mencegah penularan lebih lanjut dan kondisi penyakit yang lebih parah. Kusta umumnya ditularkan oleh orang terdekat, misalnya anggota keluarga, melalui kontak kulit secara intensif dalam waktu lama.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Cilegon Arriadna berbagi pengalaman terkait dengan kesuksesan kotanya dalam mengeliminasi kasus kusta. Menurut dia, pencegahan merupakan hal terpenting dalam menekan kasus baru kusta. Setiap tahun Dinas Kesehatan Cilegon mengadakan screening ke sekolah-sekolah untuk menemukan orang terduga kusta.
”Saya selalu tekankan kepada petugas kesehatan untuk melakukan pencegahan. Jika ketemu terduga, langsung ditindaklanjuti dan dipantau baik-baik,” ujarnya.
Ana menambahkan, pihaknya juga menganggarkan program sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya dan pencegahan kusta meskipun anggaran Kota Cilegon tidak besar.
Tinggi
Kasus baru penyakit kusta di Indonesia masih tergolong tinggi. Berdasarkan daya Global Leprosy Update yang dipublikasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2017, Indonesia berada di peringkat ketiga di dunia dengan kasus baru kusta terbanyak (15.910 kasus). Peringkat pertama ditempati India (126.164 kasus) dan kedua Brasil (26.875 kasus).
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemkes Wiendra Waworuntu di Jakarta, Kamis (7/2/2019), mengatakan, ada 10 provinsi yang belum berhasil mengeliminasi kusta. Kriteria eliminasi kusta adalah prevalensi kasus baru tidak lebih dari 1 per 10.000 penduduk.
Sepuluh provinsi itu meliputi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat.
Data berbeda diungkapkan Anung. Saat ini tinggal Provinsi Papua yang belum berhasil mengeliminasi kusta. Di tingkat kabupaten dan kota terdapat 74 kabupaten dan kota yang belum berhasil mengeliminasi kasus kusta. ”Target kita tahun ini adalah (kabupaten dan kota di) Pulau Sumatra, Jawa, dan Kalimantan bisa mengeliminasi kusta. Tinggal (Sulawesi dan) Papua yang agak menantang,” kata Anung.
Penularan
Kusta atau lepra merupakan penyakit yang disebabkan Mycobacterium leprae. Jenis bakteri itu menyerang kulit dan sistem saraf tepi. Penyakit tropis yang terabaikan itu memicu cacat permanen jika terlambat diobati. Para ahli di dunia meyakini kusta terdokumentasi pertama kali di lembar papirus Mesir pada 1550 sebelum Masehi (Kompas, 5/8/2017).
Ana mengatakan, penularan kusta hanya terjadi antar-sesama manusia. Penularan terjadi melalui kontak kulit secara intensif dengan pengidap dengan jangka waktu lama.
”Selain kontak kulit, kusta juga bisa menular melalui penggunaan handuk bergantian dengan pengidap kusta dalam waktu yang lama. Kurangnya kebersihan diri dan lingkungan rumah juga meningkatkan risiko terjangkit kusta,” ujar Ana.
Meski menular, kusta amat sulit menular (Kompas, 8/2/2019). Sebanyak 95 persen orang kebal terhadap kuman kusta, 5 persen sisanya bisa terinfeksi. Masa inkubasi kuman kusta di tubuh manusia rata-rata lima tahun. Masa inkubasi kuman kusta di tubuh manusia rata-rata lima tahun. Gejala yang muncul pada pengidap kusta adalah bercak putih atau kemerahan yang mati rasa di permukaan kulit.
Menurut Ana, pengidap kusta bisa sembuh dengan mengonsumsi obat multi-drug therapy (MDT) atau terapi kombinasi beberapa jenis obat. Bagi pengidap kusta tipe kering, obat itu harus dikonsumsi enam bulan tanpa putus. Adapun pengidap kusta tipe basah harus mengonsumsinya selama 12 bulan. Obat MDT bisa didapatkan secara gratis di puskesmas.
Kabupaten Asmat, Papua, merupakan salah satu daerah yang banyak ditemukan kasus kusta. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Asmat Riechard Mirino mengatakan, pada 2015 setidaknya ditemukan lebih dari 200 kasus baru kusta di kabupaten itu. Distrik yang warganya rawan terjangkit kusta antara lain Sawaerma, Swator, Pantai Kasuari, dan Fayit.
”Tahun 2019 setidaknya masih ada 40-an warga yang masih dalam tahap pengobatan kusta,” kata Riechard.
Menurut Riechard, kendala dalam mengeliminasi kusta di daerahnya adalah rendahnya kesadaran warga dalam menjaga kebersihan diri dan lingkungan rumah. Selain itu, warga juga enggan berobat karena sebagian besar sibuk bekerja di hutan. Akibatnya, proses pengobatan sering terputus dan penularan terus terjadi serta kondisi penyakit semakin parah. Tak jarang pasien kusta mengalami cacat fisik.
”Untuk mengatasi itu, kita menggunakan pendekatan keagamaan. Kita menggandeng Yayasan Alfon Swada dari Keuskupan Agats sejak 2017. Warga lebih mendengarkan tokoh agama dibandingkan dengan kita,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Perhimpunan Mandiri Kusta Paulus Manek mengatakan, stigma negatif masyarakat terhadap pengidap kusta turut menjadi kendala dalam menekan angka penyakit kusta. Stigma negatif itu membuat pasien jadi malu dan enggan untuk berobat. ”Stigma negatif menjadi beban tambahan bagi penderita kusta,” ujarnya. (YOLA SASTRA)