Pemda Diminta Terus Perbarui Data Keluarga Penerima Manfaat
Oleh
M Fajar Marta
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kementerian Sosial menargetkan peningkatan jumlah keluarga penerima manfaat program Bantuan Pangan Non-Tunai atau BPNT sebanyak 5,2 juta tahun ini. Namun, pemerintah tidak dapat selalu menjamin bantuan diberikan secara tepat kepada keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan mengingat kondisinya dinamis. Karena itu, pemerintah daerah diminta untuk rutin memperbarui data penduduk miskin.
Dihubungi dari Jakarta, Selasa (12/2/2019), Direktur Jenderal Penanggulangan Fakir Miskin Kementerian Sosial (Kemensos) Andi Zainal Abidin Dulung mengatakan, pemerintah menargetkan pemberian bantuan kepada 15,6 juta keluarga penerima manfaat (KPM) tahun 2019. Pada 2018, jumlah KPM telah mencapai 10,3 juta, meningkat drastis dari 1,28 juta keluarga pada 2017 sejak program BPNT dimulai.
Jangkauan bantuan berupa beras dan/atau telur tersebut akan diperluas mencakup 295 kabupaten dan kota pada 2019, meningkat dari 219 pada 2018. “April 2019, kami akan mulai pemberian bantuan ke 5,2 juta keluarga yang kami target. Rencana pemerintah, jumlah itu bisa terpenuhi semua tahun ini,” kata Andi.
Jangkauan bantuan berupa beras dan/atau telur tersebut akan diperluas mencakup 295 kabupaten dan kota pada 2019, meningkat dari 219 pada 2018.
Data Kementerian Keuangan, anggaran untuk distribusi BPNT tahun 2019 meningkat 187,4 persen dari menjadi Rp 20,78 triliun. Pada 2018, dana yang dialokasikan hanya Rp 7,23 triliun.
Setiap KPM menerima Rp 110.000 setiap bulan melalui rekening di salah satu bank anggota Himbara (Himpunan Bank Milik Negara). Dana tersebut dapat dibelanjakan beras dan/atau telur di E-Warong (Warung Gotong Royong) yang ditunjuk oleh pemerintah.
Menurut Studi Microsave Indonesia yang dirilis pada Januari 2019, median pengeluaran per rumah tangga KPM untuk pangan adalah Rp 700.000. BPNT sebesar Rp 110.000 dapat memenuhi kebutuhan pangan KPM selama satu sampai dua pekan. Pengeluaran KPM untuk pangan pun dapat diringankan sebanyak 12 persen hingga 29 persen. (Kompas, 29 Januari 2019). Adapun garis kemiskinan secara nasional yang ditetapkan badan Pusat Statistik (BPS) adalah Rp 401.220.
Andi mengatakan, bantuan selalu disalurkan pada tanggal 25 setiap bulan ke rekening KPM meskipun kerap terjadi keterlambatan. “Enggak bisa serentak terkirim semua dalam satu hari, harus bergiliran. Ada daerah yang sangat cepat, ada juga daerah yang sedikit lambat. Jadi, tidak ada bantuan yang tertunda, hanya saja bergilir,” kata Andi.
Hambatan terbesar yang menghadang pemberian bantuan terletak pada kesalahan pendataan menjadi. Menurut Andi, akan selalu ada exclusion dan inclusion error. Akibatnya, ada keluarga yang tergolong miskin tidak menerima manfaat atau keluarga yang tidak miskin malah menerima manfaat.
Kesalahan pendataan ini tampak, salah satunya, pada Hairiah (44), salah satu penerima manfaat di Johar Baru, Jakarta Pusat yang ditemui pada 28 Januari 2019. Hairiah memiliki dua toko optik, masing-masing di rumahnya dan di Pasar Senen. Toko optik di rumahnya adalah bekas e-Warong yang dibuat pemerintah sebagai pusat pembelian beras dan/atau telur bagi KPM. Ia juga memiliki mobil.
Sebaliknya, keluarga Nina (49), warga lainnya, belum menerima manfaat. Setelah kematian suaminya, ia harus menghidupi dirinya dan empat anaknya dengan berjualan nasi uduk. Anak pertamanya yang sudah lulus SMK terpaksa mengurungkan niat untuk kuliah dan menjadi sopir ojek dalam jaringan (daring). (Kompas, 15 Januari 2019)
Menanggapi hal ini, Andi mengatakan, data kemiskinan sangat dinamis. Ia pun meminta pemerintah kabupaten dan kota diminta untuk memperbaiki data secara rutin dengan bantuan di tingkat RT, RW, dan kelurahan.
Sebelumnya, Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Sosial Zaid Mirza Pahlevi mengatakan, pembaruan data oleh pemerintah kabupaten dan kota dapat dilakukan kapan pun melalui Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial (SIKS). Perubahan yang dicatatkan pemerintah daerah langsung terintegrasi dalam sistem (Kompas, 29 Januari 2019).
Berlebihan
Dengan asumsi tiap KPM beranggotakan empat sampai lima orang, jumlah warga penerima BPNT berkisar 62,4 juta-78 juta orang dari 15,6 juta KPM. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2018, penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan berjumlah 25,95 juta orang. Andi mengatakan, angka 15,6 juta keluarga mencerminkan kemampuan pemerintah menopang keluarga miskin secara nasional.
Peneliti Institute for Economic and Social Research Universitas Indonesia Ainul Huda mengatakan, jumlah KPM yang ditarget Kemensos lebih besar karena sumber datanya berasal dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Namun, jumlah KPM yang ditarget sangat mungkin berlebihan karena Kemensos juga meminta data tambahan dari daerah.
“Kita tidak tahu metode pendataan di daerah. Jangan-jangan, orang yang seharusnya tidak tergolong miskin juga didata. Kewenangan daerah ini juga rawan disalahgunakan oleh perangkat daerah seperti lurah, RT, dan RW untuk memasukkan kerabat dekatnya. Seharusnya, data itu satu pintu, misalnya, dari BPS saja,” kata Ainul.
Peneliti The Institute fo Ecosoc Rights Sri Palupi mengatakan, penentuan angka kemiskinan di daerah seharusnya menggunakan metode partisipatif. Pemerintah wajib mengawasi pendataan daerah dan mengevaluasinya untuk mencegah penyalahgunaan wewenang perangkat daerah.
Pemberdayaan
Ainul juga mengingatkan, BPNT seharusnya didampingi oleh program pemberdayaan seperti akses permodalan dan pelatihan. Meskipun BPNT bisa mencegah masyarakat terjerembab lebih jauh ke dalam kemiskinan, program tersebut tidak membuat masyarakat mandiri secara ekonomi.
Penentuan angka kemiskinan di daerah seharusnya menggunakan metode partisipatif. Pemerintah wajib mengawasi pendataan daerah dan mengevaluasinya untuk mencegah penyalahgunaan wewenang perangkat daerah.
Sementara itu, Sri Palupi juga meminta pemerintah untuk melihat masalah kemiskinan secara struktural. “Kemiskinan itu juga disebabkan karena ketiadaan akses layanan publik, permodalan, informasi, dan kekuasaan. Pemberian bantuan seperti ini menunjukkan pemerintah hanya cari gampangnya saja, apalagi dikeluarkan menjelang pemilihan presiden 2019. Motif politik pemerintah menjadi sangat mencolok,” kata Sri Palupi.