JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menjadikan pariwisata bisnis sebagai salah satu rencana strategis memajukan industri pariwisata pada 2020-2024. Implementasinya menyasar 10 destinasi prioritas nasional yang sudah ditetapkan pemerintah atau dikenal sebagai ”Bali Baru”.
Pariwisata bisnis dikenal sebagai pertemuan, insentif, pameran, dan konvensi (MICE). Adapun 10 destinasi prioritas itu di antaranya Danau Toba (Sumatera Utara), Tanjung Kelayang (Kepulauan Bangka Belitung), Tanjung Lesung (Banten), Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), dan Candi Borobudur (Jawa Tengah). Selain itu, Bromo-Tengger-Semeru (Jawa Timur), Mandalika (Nusa Tenggara Barat), Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur), Wakatobi (Sulawesi Tenggara), dan Pulau Morotai (Maluku Utara).
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro menyampaikan, pariwisata bisnis dipilih karena pengeluaran turis kategori ini tiga kali lipat daripada wisatawan biasa. Pariwisata bisnis juga berfungsi sebagai alternatif ketika sepi kunjungan (low season). Para wisatawan berperan besar sebagai pemberi pengaruh (influencer) terhadap citra destinasi, kendati gratis.
”Dalam rencana pembangunan nasional 2020-2024, pembangunan industri pariwisata diarahkan mengutamakan nilai tambah besar, berkelanjutan, dan inklusif. Belanja wisatawan bisnis selalu lebih besar dibandingkan dengan turis pada umumnya. Maka, kami memilih pariwisata bisnis sebagai salah satu strategi penting,” ujar Bambang saat menghadiri Rapat Kerja Nasional IV Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Senin (11/2/2019), di Jakarta.
Devisa pariwisata ditargetkan tumbuh menjadi 40 miliar dollar AS pada 2024. Pada 2024, kontribusi industri pariwisata terhadap total produk domestik bruto diharapkan 7 persen dan serapan tenaga kerja sebanyak 15 juta orang.
Bambang mencontohkan upaya Singapura memajukan pariwisata bisnis. Upaya diawali dari wisata belanja barang mewah hingga konferensi kelas dunia yang berlangsung hampir sepanjang tahun.
Menurut dia, kunci keberhasilan pelaksanaan pariwisata bisnis adalah lokasi akomodasi yang terintegrasi, seperti hotel, gedung, dan akses transportasi. Dari sepuluh ”Bali Baru” yang telah ditetapkan, sebagian di antaranya diharapkan bisa memiliki fasilitas terintegrasi.
Bambang mengakui, pembangunan pariwisata bisnis Indonesia memiliki sejumlah kekurangan. Sejumlah destinasi di luar Bali, misalnya, memiliki potensi, tetapi penggarapannya tidak terintegrasi.
Ia mencontohkan DKI Jakarta. Lokasi gedung yang dapat dimanfaatkan sebagai ruang penyelenggaraan kegiatan tidak berdekatan dengan hotel. Apalagi, jumlah ruang gedung terbatas.
”Pemerintah daerah berperan penting dalam pembangunan pariwisata bisnis. Inisiatif kepala daerah dapat diteruskan kepada pemerintah pusat agar didukung, seperti promosi investasi dan destinasi. BUMN bisa turut berkontribusi lewat penyediaan fasilitas,” katanya.
Kekurangan
Menteri Pariwisata Arief Yahya menambahkan, kekurangan pariwisata bisnis Indonesia lainnya adalah sering kali tidak ada sinergi antarlembaga, termasuk pelaku usaha. Hal ini terlihat saat menyampaikan penawaran untuk penyelenggaraan kegiatan pariwisata bisnis internasional.
”Kalau mau maju penawaran, saya selalu katakan kepada mereka (pelaku usaha dan lembaga), harus Indonesia incorporated. Ini adalah strategi praktis. Kalau sikapnya tidak seperti itu, Indonesia susah menang dalam penawaran,” ujarnya.
Arief mengungkapkan, Kemenpar telah mengirimkan surat kepada kementerian/lembaga agar mendukung pengembangan pariwisata bisnis. Kementerian dan lembaga bisa menyelenggarakan pertemuan organisasi dan konvensi.
”Apabila ada sinergi pelaku industri dengan pemerintah daerah, saya yakin dampak ekonominya lebih merata dan sampai kepada masyarakat. Contohnya, saat Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia 2018,” katanya.
Ketua PHRI Hariyadi B Sukamdani mengatakan, pada 2019, PHRI membuat program untuk meningkatkan okupansi hotel dan restoran. PHRI juga bekerja sama bisnis ke bisnis dengan maskapai dan agen perjalanan.
Dalam kesempatan itu, Arief Yahya mengungkapkan, Kemenpar fokus menggarap wisatawan milenial karena jumlahnya yang cukup besar. Angka pertumbuhan wisatawan milenial di Indonesia belum diketahui secara pasti. Namun, diperkirakan 50 persen dari wisatawan asing adalah generasi milenial.