Ketika Diaspora Rindu Kampung Halaman
Hidup merantau jauh dari kampung halaman atau dari keluarga dan teman-teman tercinta pasti tak mudah. Apalagi kalau merantau sampai negeri orang yang berjarak ribuan kilometer dari Tanah Air. Terasa lebih berat lagi, bahkan membuat perasaan menjadi gloomy, kalau warga setempat jarang tersenyum atau tak seramah di Indonesia.
Seperti yang dirasakan Yuli Andari Merdikaningtyas, mahasiswa S-2 Studi Konflik dan Perdamaian Internasional di Collegium Civitas, Warsawa, Polandia. Selama empat bulan berada di Warsawa, Andari jarang melihat orang yang murah senyum. Jikapun ada, biasanya orang dari Indonesia, Vietnam, atau India.
”Katanya, tipikal orang Eropa Tengah dan Timur irit senyum. Cantik-cantik dan ganteng-ganteng, tapi bibirnya enggak untuk sedekah kasih orang senyum,” kata perempuan asal Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, itu sambil tertawa saat dihubungi, Kamis (31/1/2019).
Selain kondisi lingkungan sosial, bahasa yang dipakai juga sudah pasti berbeda. Bagi Andari, bahasa menjadi tantangan terberat karena tak banyak warga Polandia yang bisa atau mau berbahasa Inggris. Ia harus mengambil kursus bahasa Polandia agar minimal bisa digunakan untuk menyapa orang lain, belanja, menanyakan harga, serta membaca pengumuman. Dengan memahami bahasa, Andari yang juga dosen Ilmu Komunikasi Fikom Universitas Teknologi Sumbawa itu berharap akan lebih mudah mengeksplorasi kota-kota di Polandia.
Jalan-jalan
Eksplorasi atau berjalan-jalan menjelajahi kota atau daerah menjadi salah satu alternatif warga Indonesia di luar negeri untuk sekadar mengisi waktu, terutama jika rasa kangen pada kampung halaman mendera.
Rinda Harli, mahasiswa S-2 di Universitas Khazar, Baku, Azerbaijan, menceritakan, orang Indonesia yang tinggal di Azerbaijan umumnya berlibur ke kota-kota lain terutama yang kondisi alamnya masih asri dan indah. Bahkan, diaspora Indonesia yang ada di Baku sering jalan-jalan bersama.
Adapun Farid Hadiaman, Ketua Diaspora Indonesia di Azerbaijan, mengatakan, sejak Juni 2014, dirinya pindah ke Baku untuk bekerja di perusahaan minyak dan gas. Untuk mengatasi rasa kangen pada Indonesia, menurut dia, biasanya Diaspora Indonesia di Azerbaijan mengadakan acara jalan-jalan bersama dan kumpul-kumpul di Wisma KBRI.
”Tahun lalu, diaspora Indonesia bikin acara kumpul-kumpul, membantu KBRI, mendukung KBRI dan staf dalam International Day, juga Food Festival,” ucap Farid.
Di Baku, hanya ada sekitar 80 WNI yang mayoritas bekerja di bidang perminyakan dan perhotelan. Selain itu, ada juga 7 mahasiswa Indonesia. Bagi Yoliandri Susilo, WNI yang tinggal di Baku sejak 2006, tinggal jauh dari keluarga dan kampung halaman itu berat. Untuk mengisi waktu luang, Yoliandri sering mengajak keluarganya jalan-jalan ke pegunungan di Caucasus atau keliling kota-kota Azerbaijan.
”Akhir pekan seringnya kumpul-kumpul dengan WNI lain, main badminton atau ikut acara KBRI,” ujarnya.
Karena di Azerbaijan relatif sedikit jumlah WNI, kata Rinda, mereka justru bisa lebih kompak. Mereka rutin kumpul di wisma saat ada acara penting atau ke restoran Indonesia. Dengan adanya restoran Indonesia di Baku, silaturahmi antar-WNI di Baku bisa tetap terjaga.
”Saat kumpul, tidak terasa kalau kami sedang berada di negara lain. Apalagi di restoran Indonesia ada masakan Indonesia yang dijaga keaslian bumbunya. Kalau kangen masakan Indonesia, kami tinggal datang ke restoran itu dan rasa rindu terobati,” tuturnya.
Kalau kangen rumah, Dianing Nur Amna, diaspora di Jordania, biasanya masak masakan Indonesia. Bahan-bahan mentah bisa didapatkan di toko-toko Filipina atau Sri Lanka, tetapi harganya mahal. Karena mahal, biasanya Dianing dan sebagian diaspora membawa bahan dasar atau bumbu langsung dari Indonesia. Beberapa makanan kecil produk Indonesia malah sudah masuk ke supermarket Jordania, seperti mi instan, kacang, kopi instan, dan biskuit.
Saat kumpul, tidak terasa kalau kami sedang berada di negara lain. Apalagi di restoran Indonesia ada masakan Indonesia yang dijaga keaslian bumbunya. Kalau kangen masakan Indonesia, kami tinggal datang ke restoran itu dan rasa rindu terobati.
”Kalau itu, harganya terjangkau dan favorit warga lokal juga. Yang mahal itu bahan makanan Indonesia karena didatangkan dari Jeddah. Ada satu toko kecil jual kerupuk, ikan asin, dan bumbu-bumbu segar,” kata ibu tiga putri itu.
Dianing mengakui biaya hidup di Jordania tinggi. Belanja mingguan untuk kebutuhan sekeluarga dengan tiga anak, seperti beras, minyak, ikan, dan ayam, sekitar 100 dinar (1 dinar sekitar Rp 20.000) atau 140 dollar AS. Meski biaya hidup mahal, Dianing dan rata-rata diaspora mengaku kerasan tinggal di Jordania karena negara itu terbuka.
”Orang sini toleransinya tinggi. Perempuan juga bebas menyetir sendiri dan aman. Yang tidak pakai hijab juga banyak,” ujarnya.
Saling belajar
Memasak masakan Indonesia juga biasa dilakukan Andari dan teman-temannya. Yang dimasak biasanya soto atau sop ayam. Ada beberapa toko Asia di Warsawa, antara lain Hala Mirowska dan Asian Kuchnia yang menyediakan bahan-bahan makanan dari Asia. Kalau untuk urusan makanan, Polandia relatif murah. Harga susu, cokelat, daging, kentang, dan apel terjangkau. Hanya biaya sewa flat yang mahal. ”Makanan asli sini rasanya hambar. Kurang sedap bagi saya yang sudah tahu rasa micin,” ujarnya.
Sambil makan-makan, mereka saling curhat menceritakan banyak hal, mulai dari masalah kangen rumah sampai masalah di kampus atau pembelajaran. Pada saat kumpul itulah, kata Andari, mereka berbagi tips dan saling menguatkan. Tantangan terberat tinggal di Polandia adalah ketika musim dingin karena bisa mencapai titik paling ekstrem, yakni minus 18 derajat celsius.
”Pas dingin, yang diingat makan soto ayam atau sop kikil. Pokoknya, yang panas-panas. Kami suka lihat-lihat foto makanan Indonesia. Realitasnya, makan mi instan rebus telur rasa soto ayam,” ucapnya sambil tertawa.
Hidup di negeri orang harus bisa cepat belajar beradaptasi, mulai dari cuaca, bahasa, makanan, hingga budaya. Dari pengalaman Munadhil Abdul Muqsith, mahasiswa S-3 Jurusan Jurnalisme Internasional di RUDN University, Moskwa, Rusia, semakin lama akan semakin terbiasa dengan lingkungan yang baru, bahkan semakin ingin mengeksplorasi daerah-daerah lain yang menarik di Rusia.
Pas dingin, yang diingat makan soto ayam atau sop kikil. Pokoknya, yang panas-panas. Kami suka lihat-lihat foto makanan Indonesia. Realitasnya, makan mi instan rebus telur rasa soto ayam.
Semakin mengenal Rusia lebih dalam, pandangan Munadhil terhadap Rusia dan masyarakatnya mulai berubah. Sebelum berangkat, banyak orang yang menganggap atau melabeli Rusia sebagai negara komunis. Namun, ternyata sesampai di Rusia, Munadhil justru tidak melihat tanda-tanda komunisme.
”Di sini malah lebih kapitalis daripada Indonesia. Produk-produk dari Barat banyak sekali di sini. Tidak terasa ada efek embargo. Semua normal dan nyaman belajar di sini,” ujarnya.
Teknologi komunikasi
Bagi diaspora Indonesia, teknologi komunikasi sangat penting untuk tetap bisa berkomunikasi dengan keluarga. Yoliandri memanfaatkan aplikasi Whatsapp call/video untuk menjaga silaturahmi dengan keluarga besarnya di Indonesia.
Seperti halnya Yoliandri, Rinda juga memanfaatkan kemudahan berkomunikasi ini. Ia bisa mengobrol dengan anggota keluarga secara bersama-sama sehingga bisa menghilangkan rasa rindu sesaat. Namun, ada satu rasa rindu yang belum terobati, yaitu kangen pada pedagang makanan yang dengan gerobaknya datang dari rumah ke rumah.
”Rasanya, saat di apartemen, saya kangen sekali sama abang-abang penjual nasi goreng atau mi tek-tek,” ujarnya.
Bagaimana pun situasinya, diaspora Indonesia tetap bersyukur dengan keberadaan mereka sekarang di luar Indonesia, baik untuk melanjutkan kuliah S-2 atau S-3 maupun bekerja. Segala hal yang bisa mereka lakukan untuk menepis rasa kangen pada Indonesia tentu akan mereka kerjakan, entah jalan-jalan bareng, makan bareng, atau berekspresi dalam karya seni saat acara Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI.
Kebersamaan yang mereka lakukan di luar Indonesia setidaknya mengikis kerinduan akan tanah air Indonesia.