JAKARTA, KOMPAS — Beberapa mantan unsur pimpinan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat mengaku tidak pernah membahas alokasi dana per daerah, khususnya dalam perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan atau APBN-P 2016. Ketua Komisi III DPR Kahar Muzakir dan anggota DPR Fraksi Partai Amanat Nasional, Ahmad Riski Sadig, menyampaikan hal itu seusai memenuhi panggilan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (12/2/2019).
Mereka dipanggil sebagai saksi dalam kasus dugaan suap perolehan dana alokasi khusus (DAK) fisik tahun anggaran 2016 untuk Kabupaten Kebumen yang disangkakan kepada Wakil Ketua DPR (nonaktif) Taufik Kurniawan. Saat ini, Taufik ditahan di Rumah Tahanan Cabang KPK di kantor KPK Kavling C-1, Jakarta.
Kahar dipanggil selaku mantan Ketua Badan Anggaran DPR pada 2016. Ia diperiksa lebih kurang 5 jam. Ketika ditemui seusai penyidikan, ia mengaku ditanyai penyidik KPK dengan tujuh pertanyaan.
”Saya dimintai keterangan tentang penganggaran APBN-P 2016,” ujarnya. Ketika ditanya tentang pembahasan khusus DAK Kebumen di Badan Anggaran DPR, ia mengatakan bahwa dirinya tidak tahu mengenai hal itu.
Jawaban serupa juga disampaikan Ahmad Riski Sadig, mantan Wakil Ketua Badan Anggaran DPR pada 2016. Ia mengatakan, usulan DAK Kebumen murni bersumber dari pemerintah daerah. Dia mengklaim tidak ada pembahasan khusus untuk perolehan DAK Kebumen.
”Kami tidak pernah membahas khusus. Kami tidak membahas khusus daerah per daerah,” katanya. KPK juga memanggil anggota DPR Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Said Abdullah, sebagai saksi.
Mempertajam bukti
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, proses penyidikan terhadap para anggota DPR itu dilakukan untuk mempertajam bukti-bukti yang dibutuhkan pada proses persidangan nanti.
”Ketiga saksi dikonfirmasi terkait dengan proses dan prosedur pengajuan anggaran, khususnya dana alokasi khusus fisik pada APBN-P tahun anggaran 2016 untuk alokasi APBD-P Kabupaten Kebumen 2016, termasuk dalam posisi di Badan Anggaran DPR sebelumnya,” tutur Febri.
Perkara yang menjerat Taufik ini berawal setelah Muhammad Yahya Fuad terpilih sebagai Bupati Kebumen periode 2016-2021. Yahya diketahui mendekati sejumlah pihak untuk merealisasikan rencana DAK senilai Rp 100 miliar untuk pembangunan infrastruktur.
Pihak yang didekati antara lain beberapa anggota DPR, termasuk Taufik selaku Wakil Ketua DPR bidang ekonomi dan keuangan yang membidangi lingkup tugas Komisi XI dan Badan Anggaran. Menurut dugaan, Taufik juga didekati karena dianggap mewakili daerah pemilihan Jawa Tengah VII yang meliputi Kebumen, Banjarnegara, dan Purbalingga (Kompas, 30/10/2018).
Yahya, yang kini telah dijatuhi pidana 4 tahun penjara sejak Oktober 2018, menyanggupi permintaan komisi sebesar Rp 3,65 miliar atau 5 persen dari rencana DAK yang diminta untuk diberikan kepada Taufik.
Pertemuan dan penyerahan uang antara Yahya dan Taufik dilakukan bertahap di sejumlah hotel di Semarang dan Yogyakarta. Atas dugaan penerimaan suap itu, KPK menjerat Taufik dengan Pasal 12 Huruf a atau Pasal 12 Huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Bahan pertimbangan
Sampai saat ini Taufik belum mundur dari jabatan atau digantikan posisinya sebagai wakil ketua DPR. Taufik bahkan mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif dari Partai Amanat Nasional pada Pemilu 2019 untuk daerah pemilihan VII Jawa Tengah.
Febri mengatakan, penetapan status Taufik sebagai tersangka dan tahanan seharusnya menjadi pertimbangan bagi partai politik untuk mencari pengganti pemegang jabatan.
”Kalau seseorang sudah dalam masa penahanan, artinya dia tidak bisa melaksanakan tugas maksimal. Ini harus menjadi pertimbangan serius bagi parpol untuk menentukan siapa yang berhak bertugas,” ujarnya.
Terkait dengan status Taufik yang belum dicoret sebagai caleg karena belum adanya putusan berkekuatan hukum tetap terhadap kasus korupsi yang menjeratnya, masyarakat pun diminta menjadikan statusnya sebagai bahan pertimbangan.
”Masyarakat punya hak penuh untuk melihat rekam jejak caleg yang akan dipilih. Apakah mereka terjerat proses hukum korupsi atau yang lain, apakah dia mantan pelaku pidana korupsi. Mami harapkan itu jadi pertimbangan memilih,” ujarnya.
Sementara itu, pengamat politik dan pemerintahan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Mada Sukmajati, berpendapat, perkara yang disangkakan kepada Taufik, selaku bagian dari unsur pimpinan DPR, tidak hanya merusak citra DPR, tetapi juga partai pengusungnya.
”Ini istilahnya mafia anggaran. Ya, etika politiknya harus mundur. Selain merusak citra diri, keputusan tidak mau mundur atau digantikan posisinya bisa merusak citra partai,” ujarnya. (ERIKA KURNIA)