Tiga Skenario Disiapkan untuk Atasi Tawuran di Manggarai
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) DKI Jakarta menyiapkan tiga skenario untuk mencegah tawuran di Pasar Rumput, Kelurahan Pasar Manggis, Setiabudi, Jakarta Selatan.
Pelaksana Tugas (Plt) Badan Kesbangpol DKI Jakarta Taufan Bakri mengatakan, tiga konsep yang diusulkan itu adalah menyiapkan pendidikan bagi warga sekitar yang putus sekolah, melatih keterampilan bekerja, dan memberikan edukasi secara moral bagi para pemuda.
“Mereka yang putus sekolah, kami masukkan ke program kejar paket yang sesuai. Dengan bergeraknya orang ke sekolah, kami berharap tingkat tawuran menurun. Namun, bagi mereka yang masuk usia produktif, akan dilatih untuk bekerja di balai latihan kerja. Dan terakhir, pendekatan pendidikan moral serta keagamaan,” kata Taufan, Senin (11/2/2019).
Taufan berharap, program itu dapat menyasar oknum dan tokoh yang terlibat tawuran. Mereka diharapkan memiliki kesibukan sehingga tidak lagi memikirkan tawuran.
Dia juga menambahkan, pihaknya telah memanggil kepala suku badan wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat untuk dapat berkoordinasi dan melakukan manajemen konflik di kedua wilayah. Selama ini, wilayah yang kerap terlibat tawuran adalah Menteng Tengulun, Jakarta Pusat dan Pasar Rumput, Kelurahan Pasar Manggis, Jakarta Selatan. Tawuran sudah ada sejak lampau dan sulit dicari akar persoalannya.
Lurah Pasar Manggis Purwati menambahkan, sebelum bangunan Pasar Rumput dibongkar dan dibangun proyek rumah susun, anak-anak didampingi oleh sosiolog untuk program pemberdayaan. Ada kegiatan musik, dan seni melukis. Namun, semenjak proyek rusun dimulai, sudah tidak ada tempat untuk berkegiatan bersama sosiolog. Tempat untuk berkegiatan digusur dan pihak kelurahan belum menemukan lagi tempat yang cocok untuk berlatih.
“Terakhir tahun kemarin, pada saat Asian Games, anak-anak kami libatkan untuk membuat kesenian mural. Itu kami lakukan untuk menampung bakat-bakat anak muda di Pasar Rumput, Kelurahan Pasar Manggis,” kata Purwati.
Kepala Suku Badan Kesbangpol Jakarta Selatan Moh Matsani menambahkan, konsep dari provinsi akan segera ditindaklanjuti. Salah satunya adalah dengan melakukan koordinasi dengan pihak terkait untuk pendataan remaja sasaran. Pemetaan dilakukan bersama lurah, dan camat.
“Lurah yang paling tahu wilayahnya sehingga kami tugaskan untuk pendataan mereka yang putus sekolah untuk diikutkan dalam kejar paket A, paket B, dan paket C. Kami juga sudah berkoordinasi dengan pelatihan yang ada di bawah Sudin Sosial Jaksel,” kata Matsani.
Sosiolog Universitas Indonesia yang meneliti tawuran di Johar Baru, Daisy Indira Yasmin, mengatakan, pertumbuhan kota besar di Indonesia seperti Jakarta terkadang mengabaikan prinsip tata kota.
Ada pembiaran terhadap tata kota, yang terlihat dari pengaturan kepadatan penduduk di permukiman. Warga di kawasan kumuh mesti bersaing ketat mengakses sumber daya, fasilitas umum, dan fasilitas sosial. Idealnya, perkembangan kota juga dilihat dari daya dukung lingkungan. Kawasan yang tidak imbang daya dukungnya ini rawan terjadi tawuran.
”Mereka adalah orang-orang yang terpojok dari masifnya pembangunan perkotaan. Akhirnya muncul budaya marjinal yang berakibat pada ekspresi kemarahan serta siasat untuk bertahan,” kata Daisy.
Ia mengatakan, kehidupan di lingkungan padat penduduk tidak memberikan ruang gerak leluasa bagi warga. Mereka tidak memiliki ruang privasi dan semuanya menjadi fasilitas publik. Ruang gerak ekonomi mereka pun terbatas. Dengan latar belakang pendidikan yang rendah, atau bahkan putus sekolah, mereka sulit mendapatkan pekerjaan dan akhirnya terjerumus ke lapangan kerja ilegal. Dalam pekerjaan seperti itu, lebih dekat dengan kekerasan.
”Ini terbukti di Johar Baru yang saya teliti. Ternyata, tawuran itu ada yang diciptakan untuk mengelabui polisi saat ada transaksi narkoba,” kata Daisy.
Melihat kompleksnya permasalahan penyebab tawuran di lingkungan padat penduduk ini, Daisy berpendapat bahwa sebaiknya anak-anak muda didampingi secara terus menerus untuk melakukan kegiatan pemberdayaan sesuai dengan minatnya. Terkadang, karakteristik mereka tidak cukup dibekali pendidikan dan agama, tetapi juga keterampilan untuk bertahan hidup. Berdasarkan pengalamannya di Johar Baru, anak-anak yang sudah terdampak budaya marjinal akan lebih efektif saat didampingi dengan kegiatan pemberdayaan dengan pendekatan seni dan budaya.