Siapa pun Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih nanti, tugasnya akan berat, yaitu merealisasikan 23 persen energi terbarukan dalam bauran energi nasional di tahun 2025.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Siapa pun yang terpilih pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2019 nanti, tugasnya akan berat, yaitu merealisasikan 23 persen energi terbarukan dalam bauran energi nasional di tahun 2025. Target itu tertulis dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Padahal, porsi energi terbarukan saat ini belum sampai 8 persen.
Bagaimana mencapai target 23 persen yang setara dengan kapasitas listrik terpasang sebesar 45.000 megawatt itu? Bukan hal yang mudah kalau tak ingin disebut mustahil. Tengok saja penambahan kapasitas terpasang listrik energi terbarukan di dalam negeri dari 2015 sampai 2018 yang \'hanya\' 800 megawatt saja.
Ada yang sebut target 23 persen itu terlampau ambisius. Sebagai sebuah jalan tengah, sebaiknya kita tak terlalu fokus pada angka semata. Yang penting adalah semangat untuk terus mengembangkan energi terbarukan tanpa henti. Bukan pula berarti menghapus energi fosil (baca: batubara) sebagai sumber energi primer. Tak bisa dibohongi, 60 persen sumber energi primer di Indonesia adalah dari batubara.
Lalu, kenapa mesti harus teguh mengembangkan energi terbarukan? Bukannya cadangan batubara Indonesia masih sangat melimpah cukup untuk puluhan tahun mendatang? Bagi yang pro terhadap energi terbarukan, sumber energi fosil adalah biang pencemaran udara, menaikkan suhu lewat pembakaran, dan merusak daya dukung alam karena ada penggalian.
Akan tetapi, bagi pihak penambang batubara, akan selalu menyebut bahwa batubara masih menjadi tulang punggung utama ketahanan energi di Indonesia. Keandalan pasokan listrik dari batubara sudah teruji. Sektor tambang batubara dan mineral juga telah menyumbang Rp 50 triliun terhadap penerimaan negara bukan pajak di tahun 2018. Bandingkan dengan energi terbarukan yang sumbangannya \'hanya\' Rp 2,3 triliun di tahun yang sama.
Apabila aspeknya diperluas, membicarakan energi terbarukan tak melulu mengenai kelestarian lingkungan dan pengelolaan berkelanjutan. Tapi, ada faktor ketahanan terhadap volatilitas harga komoditas utama, yaitu minyak mentah dan batubara. Ini berhubungan langsung dengan defisit atau surplus-nya neraca perdagangan Indonesia.
Lambat laun, teknologi di bidang energi terbarukan kian murah dan efisien. Dengan demikian, produksi energi listriknya diperkirakan semakin murah.
Melonjaknya impor minyak mentah dan bahan bakar minyak telah menyebabkan defisit neraca perdagangan Indonesia kian dalam sepanjang 2018. Situasi diperburuk dengan melemahnya posisi rupiah terhadap dollar AS. Begitu pula kenaikan harga batubara yang sempat mencapai di atas 100 dollar AS per ton memukul aliran kas PLN lantaran tak ada perubahan untuk tarif listrik.
Memakai energi terbarukan, tak akan terpengaruh oleh naik turunnya harga batubara dan minyak mentah dunia. Sumber tenaga air, panas matahari, angin, atau panas bumi, adalah sumber energi yang didapat tanpa impor dan tak bisa diperdagangkan layaknya minyak mentah atau batubara. Inilah salah satu keunggulannya selain faktor ramah terhadap lingkungan.
Di saat yang sama, pebisnis energi fosil pun tak perlu khawatir. Sampai 2050, peran batubara masih (sedikitnya) 25 persen dalam bauran energi nasional, minyak bumi 20 persen, dan gas bumi 24 persen.
Menyimpan harapan
Kendati perkembangan energi terbarukan di Indonesia tak begitu menggembirakan, sejumlah kalangan masih menyimpan harapan bahwa di masa mendatang energi terbarukan punya masa depan cerah di Indonesia. Sejumlah asosiasi pengembang energi terbarukan, di Jakarta pada akhir pekan lalu, mengungkapkan, para pengambil kebijakan di negeri ini akan tiba saatnya nanti bahwa pilihan mengembangkan energi terbarukan adalah sebuah pilihan yang rasional.
Lambat laun, teknologi di bidang energi terbarukan kian murah dan efisien. Dengan demikian, produksi energi listriknya diperkirakan semakin murah dibanding batubara. Pemerintah, selaku pembuat keputusan, hanya diminta untuk tak ketinggalan momentum dengan sesegera mungkin mempercepat pengembangannya.
Dukungan berupa regulasi yang ramah terhadap pengembangan energi terbarukan di Indonesia, insentif fiskal, atau apa pun bentuknya amat diperlukan. Logikanya, untuk energi fosil yang suatu waktu nanti cadangannya bakal habis dan dianggap mencemari udara saja negara memberikan subsidi (harga listrik). Kenapa untuk sumber daya yang ramah lingkungan dan terbarukan tak diberikan subsidi?