Mereka Berjibaku dari Pintu ke Pintu
Sebagai mesin tumpuan pemenangan calon presiden- calon wakil presiden, sukarelawan harus bergerak sampai ke akar rumput untuk menyapa warga. Namun, mereka menghadapi tantangan yang tidak mudah.
Keterbatasan biaya, minimnya pasokan atribut kampanye, dan sikap warga yang tidak bersahabat menjadi kendala dalam memaksimalkan sukarelawan saat berkampanye dari pintu ke pintu.
Sebuah kedai dengan desain interior bernuansa vintage menjadi saksi bisu pergerakan ”emak-emak” yang tergabung dalam Partai Emak-emak Pendukung Prabowo- Sandiaga atau disingkat Pepes.
Dari kedai di kawasan Duren Sawit, Jakarta Timur, puluhan perempuan mendeklarasikan Pepes pada Agustus 2018 untuk menjawab keinginan Sandiaga Uno membentuk perkumpulan emak-emak.
Bagi pendiri sekaligus Ketua Umum Nasional Pepes Wulan, organisasi itu merupakan upaya membantu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno meraih suara ibu-ibu. Bermula dari cuitan di media sosial, ia sudah menarik ratusan ibu-ibu untuk membentuk Pepes di 34 provinsi. Kini, organisasi sukarelawan itu diklaim memiliki anggota 3.000 orang.
Sejak akhir tahun lalu, Pepes fokus menjalankan program Pepes Kepung (Pepes Keliling Kampung). ”Kami bergerak sendiri, bahkan tidak ada kontak dengan partai politik pendukung atau caleg,” kata Wulan, Minggu (10/2/2019).
Program Pepes Kepung mendatangi daerah-daerah basis Joko Widodo-Ma’ruf Amin, terutama yang berdekatan dengan pasar dan perumahan kumuh. Pepes berkeliling dari rumah ke rumah menemui warga. Ketika berkunjung,
Pepes juga membagikan stiker dan gantungan kunci bergambar wajah Prabowo.
Tanpa bantuan
Seperti Wulan dan Pepes, Sulianto Rusli dan Barisan Relawan Bhinneka Jaya (Bara Baja) juga bergerak sendiri. Sebagai pendukung Jokowi- Ma’ruf, para sukarelawan Bara Baja itu merasa bergerak sendiri tanpa ditemani partai ataupun didukung tim sukses. Ini berbeda dari keadaan pada Pemilu 2014 ketika sukarelawan berjalan beriringan dengan partai politik.
Dampaknya, sukarelawan bergerak tanpa dukungan bantuan dana serta alat peraga kampanye dari tim sukses. Rustam Effendi Nainggolan, Ketua Umum Relawan Nusantara for Jokowi (N4J), yang berbasis di Sumatera Utara, mengeluhkan hal serupa.
Ia beberapa kali mengirim pesan ke Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma’ruf Amin di Jakarta agar mengirimkan bantuan alat peraga kampanye bagi sukarelawan di Sumut, tetapi pesannya tak kunjung dibalas.
Rustam pun meminta sukarelawan urunan. Akhirnya, sekitar Rp 20 juta terkumpul. ”Masalah ini mungkin yang membuat banyak sukarelawan di daerah sulit beraktivitas dan memilih berkampanye di media sosial, bukan di lapangan,” katanya.
Kendala logistik juga dialami Jaringan Relawan Prabowo- Sandi (Jarpas). Saat Pemilu 2014, sekitar 80 persen kebutuhan logistik, termasuk atribut kampanye, berasal dari badan pemenangan Prabowo- Hatta yang berpusat di Rumah Polonia. ”Di sana dulu orang tinggal ambil saja,” kata koordinator Jarpas, Yahdil Abdi Harahap.
Pada Pilpres 2019, sebagian besar kebutuhan logistik pemenangan berasal dari para sukarelawan. Dengan keterbatasan tersebut, tak banyak acara pengumpulan massa yang bisa dilakukan oleh Jarpas.
Selain keterbatasan logistik, sukarelawan Jokowi-Ma’ruf juga menyampaikan tantangan yang dihadapi saat berkampanye di tengah warga adalah gempuran isu hoaks yang dipercaya sebagian warga.
Surya Fermana (39) telah menjadi sukarelawan Jokowi sejak Pemilihan Presiden 2014. Hoaks, ujarnya, menjadi tantangan tersendiri bagi para sukarelawan di kubu Jokowi- Ma’ruf.
Karena penyebaran disinformasi begitu masif, bahkan di kalangan masyarakat terpelajar, sukarelawan harus memutar otak meyakinkan warga bahwa informasi yang mereka terima itu tidak benar.
Di tengah beragam tantangan, para sukarelawan tetap bergerak untuk memenangkan capres-cawapres yang mereka dukung. Semoga saja ”keringat” para sukarelawan itu bisa dibalas kinerja prima saat capres yang mereka dukung terpilih sebagai pemimpin bangsa.... (SAN/REK/E21/AGE)