Jumlah Pengguna Gawai Naik, Kompetisi Bank dan Tekfin Makin Ketat
Oleh
Hamzirwan Hamid
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Masyarakat Indonesia masih cenderung menggunakan jasa perbankan untuk layanan transaksi keuangan. Seiring digitalisasi, transaksi perbankan dalam jaringan pun meningkat.
Meski demikian, jumlah pengguna gawai yang meningkat secara signifikan membuka kesempatan bagi nasabah untuk mengakses layanan dari lembaga keuangan non-bank seperti perusahaan teknologi finansial.
Hal ini terungkap dalam laporan hasil survei McKinsey & Company berjudul Digital Banking in Indonesia: Building Loyalty and Generating Growth yang dipaparkan di Jakarta, Senin (11/2/2019).
Survei ini dilaksanakan pada 2017 dan diikuti 900 konsumen jasa keuangan Indonesia sebagai bagian dari 17.000 konsumen lainnya dari total 15 negara. Hasilnya, 95 persen konsumen Indonesia masih menggantungkan layanan keuangan dari perbankan.
“Di Indonesia, jumlah pengguna jasa lembaga keuangan non-bank secara regular masih rendah, hanya 5 persen, terendah di antara 15 negara yang kami survei. Dibandingkan dengan China, dua per tiga (67 persen) konsumen keuangan jasa keuangan sudah menggunakan jasa non-bank seperti pembayaran melalui Alibaba atau WeChat,” kata Guillaume de Gantes dari McKinsey & Company Indonesia.
Di sisi lain, tren transaksi daring (internet banking) Indonesia mencapai 35 persen pada 2017, meningkat dari 21 persen pada 2014. Kebanyakan masyarakat Indonesia memiliki satu sampai dua layanan internet banking. Angka ini melampaui rata-rata negara-negara Asia lainnya, seperti China, Thailand, Malaysia, India, dan Myanmar, yakni 32 persen.
“Tren yang berlangsung di bank saat ini bukan menambah jumlah nasabah, tetapi memperdalam kualitas dan memperbanyak jenis layanan bagi nasabah secara daring. Selain simpanan, kemudahan pembayaran dan kredit menjadi layanan yang semakin penting,” kata Guillaume.
Pengguna intenet banking Indonesia diprediksi terus meningkat. Sebanyak 55 persen dari jumlah responden berencana menggunakan layanan digital tersebut.
Namun, bank harus bersaing dengan teknologi finansial (tekfin) yang juga menyediakan layanan seperti pinjaman (peer-to peer lending) atau pembayaran menggunakan kode QR (quick response) seperti OVO dan Go-Pay.
Guillaume mengatakan, bertambahnya pengguna gawai akan mengubah jumlah pengguna jasa lembaga keuangan non-bank yang masih 5 persen. “Jumlah pengguna gawai di Indonesia pada 2025 akan jadi 13 juta lebih banyak daripada pemilik rekening bank. Kemungkinannya, mereka yang punya gawai tetapi tidak punya rekening bank akan mulai menggunakan internet banking, mengakses jasa keuangan tekfin, atau menggunakan keduanya,” kata dia.
Sampai tahun 2017, data McKinsey menunjukkan, Indonesia menjadi negara dengan jumlah gawai terbanyak ketiga di Asia Pasifik, yaitu 124 juta. Adapun pengguna internet mencapai 51 persen dari populasi atau 133 juta, 30 persennya tersambung melalui ponsel.
Managing Director Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) Mercy Simorangkir mengatakan, kolaborasi antara perusahaan tekfin dengan bank sudah berjalan. Mercy mencontohkan, pemberian kredit oleh platform pinjaman peer-to-peer perlu dilakukan melalui bank.
“Salah satu anggota Aftech, misalnya, meminta pemilik e-wallet untuk membuka rekening di salah satu bank. Akhirnya, jumlah nasabah baru bank bertambah sampai 940.000,” kata Mercy.
Kolaborasi
Kerja sama antara tekfin dan bank juga sudah berjalan dalam bidang pembayaran. Untuk mengisi e-wallet, misalnya, diperlukan akun virtual dari salah satu bank.
Mercy mengatakan, kolaborasi bank dengan tekfin dapat meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia. Pada 2019, pemerintah menargetkan 75 persen masyarakat Indonesia dapat memanfaatkan teknologi untuk mengakses layanan keuangan. Namun, terdapat beberapa permasalahan, seperti regulasi yang belum jelas terkait berbagi data antarlembaga keuangan.
“Idealnya, tekfin berkembang jika ada API (application programming interface) terbuka sebagai bagian dari ekosistem (untuk berbagi data). Ini penting salah satunya untuk melaksanakan penilaian kredit melalui e-KYC (electronic know-your-customer). Perjalanan Indonesia ke sana masih sangat panjang karena masih ada pertimbangan regulasi. Namun, kami terus bekerja sama dengan pemerintah,” kata Mercy. (KRISTIAN OKA PRASETYADI)