Sihir dari Timur Laut India
Peninggalan dari masa lalu senantiasa menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Agartala, ibu kota Negara Bagian Tripura, India, mewarisi beberapa bangunan kuno yang megah. Bangunan yang sarat dengan kisah kemegahan di masa lampau.
Meski berada di ujung timur laut India, yang daratannya agak terpisah dari wilayah India, kota yang terletak di tepi Sungai Haora dan berbatasan langsung dengan Bangladesh (hanya sekitar 2 kilometer) ini memiliki tempat bersejarah dan bangunan-bangunan megah dari kerajaan di masa lalu, baik di jantung kotanya maupun di pinggiran kota.
Tempat-tempat itu menjadi ikon wisata Agartala saat ini. Di ujung tahun 2018, pada pekan terakhir November, saya dan beberapa wartawan, termasuk agen perjalanan wisata dari sejumlah negara, diundang menghadiri ”7th International Tourism Mart (ITM) 2018” yang digelar Kementerian Pariwisata India di Kota Agartala, bekerja sama dengan Pemerintah Negara Bagian Tripura dan negara bagian lainnya di timur laut India.
Tentu puas menyaksikan pertunjukan seni budaya etnik dari delapan negara bagian di timur laut India (Tripura, Mizoram, Manipur, Nagaland, Assam, Meghalaya, Arunachal Pradesh, dan Sikkim) pada malam pembukaan ITM 2018. Saya juga mendapat kesempatan mengunjungi tempat-tempat eksotis dan menawan. Kunjungan tersebut dilakukan sebelum menikmati perjalanan wisata di kawasan pegunungan Himalaya di perbatasan India-China dan Bhutan, di Arunachal Pradesh.
Selama berada tiga hari di Agartala, saya sempat mengunjungi Istana Ujjayanta. Bangunan kuno nan megah itu merupakan peninggalan Kerajaan Tripura yang dibangun sekitar tahun 1899-1901 oleh Raja Radha Krishan Manikya. Persis di samping istana terdapat danau dengan air yang tenang, dikelilingi taman dengan berbagai tanaman.
Untuk sampai ke bangunan kerajaan tersebut, wisatawan harus berjalan kaki sekitar 500 meter dari gerbang melewati taman luas yang ditata sangat rapi. Dari kejauhan terlihat bangunan berwarna putih dihiasi tiga kubah, dengan kubah bagian tengah lebih tinggi karena dibangun tiga tingkat di atas bangunan istana.
Beruntung, hari itu, Jumat (23/11/2018), kami ditemani Sandipan Mitra, salah panitia ITM 2018 yang juga pegawai Pemerintah Negara Bagian Tripura, sehingga mobil yang kami tumpangi diizinkan parkir tidak jauh dari bangunan istana.
Tepat di depan istana, deretan anak tangga terpampang di hadapan kami. Anak tangga dari ujung taman langsung menghubungkan bangunan istana di lantai dua.
Hari hampir senja ketika saya bersama Herman Moniaga dan Sonny Effendi Emun (dari perusahaan penerbangan yang melayani rute Indonesia-India) memasuki Istana Ujjayanta, Jumat. Setelah menaiki anak tangga, pengunjung langsung memasuki ruangan demi ruangan di istana yang juga merupakan museum. Hanya boleh melihat, dilarang memotret apa pun di ruang itu. Seperti bangunan kerajaan-kerajaan umumnya, mulai dari lantai dari ubin atau marmer yang terbaik di masa lalu, kayu-kayu yang melekat di pintu-pintu istana itu juga terlihat sangat kokoh.
Kebanyakan yang dipajang dalam ruangan tersebut adalah foto-foto keluarga kerajaan di masa lalu dan foto-foto yang menggambarkan seni budaya, kehidupan masyarakat dari negara-negara bagian di timur laut India. Tidak semua ruangan boleh dikunjungi wisatawan. Bagian tengah istana itu langsung terhubung dengan rumah tempat tinggal keluarga kerajaan.
Saat keluar dari istana, hari sudah gelap. Namun, ketika meninggalkan istana dan membalikkan badan, kami disuguhi pemandangan eksotis dari dalam istana. Bangunan tersebut bermandikan cahaya. Sayang waktunya singkat. Angin dingin yang menusuk membuat tidak bisa berlama-lama menikmati kemegahan istana tersebut. Malam itu, kami kembali ke hotel tempat menginap.
Istana di atas danau
Keesokan hari, kami diajak mengunjungi Neermahal, yang dikenal sebagai istana di atas air. Lokasinya di pinggiran Agartala. Setelah menempuh perjalanan dengan bus sekitar 90 menit, (jarak dari Kota Agartala sekitar 53 kilometer), melewati perbatasan dengan Bangladesh, kami tiba di pinggiran Danau Rudrasagar. Turun dari bus kami langsung disambut ratusan masyarakat setempat, kemudian menikmati pertunjukan tari India di dalam tenda di pinggir danau.
Beberapa saat kemudian, kami berpindah ke perahu motor yang kemudian melaju menuju tengah danau, yang saat itu terlihat dangkal. Dari kejauhan kami menyaksikan bangunan putih yang bentuknya seperti kastel dalam gambar dari cerita-cerita dongeng. Tidak sampai 10 menit, kami telah tiba di dermaga kayu yang sengaja dibangun untuk menjadi jalan penghubung menuju Neermahal. ”Wow, indah sekali,” ungkap Keren, jurnalis dari Sydney, Australia.
Neermahal adalah bekas istana Kerajaan Tripura yang dibangun oleh Raja Bir Bikram Kishore Manikya. Istana yang dibangun perusahaan arsitektur Inggris, Martin dan Burns, khusus untuk raja itu dikerjakan mulai tahun 1930 hingga selesai pada 1938. Desain arsitektur bangunan tersebut merupakan perpaduan antara tradisi dan budaya Hindu dan Muslim.
Neermahal adalah tempat tinggal Raja Bir Bikram Kishore Manikya pada musim panas. Kami pun memasuki kompleks istana. Di tangga pintu masuk ke istana, kami disambut senyum ramah sejumlah remaja putri berpakaian tradisional India. Beberapa wisatawan menyempatkan berswafoto dengan mereka.
Masuk ke istana itu, kami mendapati ruang-ruang kosong berbentuk oval juga persegi.
Ada 24 ruangan di Neermahal, terdiri ruang tamu, ruang menari, kamar tidur, ruang hiburan, ruang makan, ruang jaga, ruang generator, ruang dapur. Ruang-ruang di sayap barat Neermahal menjadi tempat tinggal keluarga kerajaan.
Ada dua tangga melingkar yang menuju bagian atas istana yang menjadi tempat terbuka. Di ruang itu terdapat menara pengawas yang dijaga petugas yang berpakaian seragam kerajaan. Saya menyempatkan diri naik di menara pengawas dan menyaksikan seluruh bagian danau yang luasnya sekitar 5 kilometer persegi dan berbagai sisi Neermahal.
Seusai menikmati kemegahan bangunan tersebut, pagi itu kami diminta berkumpul di sisi timur Neermahal, di sebuah ruang terbuka yang khusus untuk pertunjukan seni budaya. Kami menyaksikan pertunjukan berbagai tarian tradisional India dan drama musikal seraya menikmati beberapa kue dan minuman tradisional Agartala.
Menjelang siang, udara di Neermahal terasa sangat panas menyengat kulit, kami pun bergeser ke sebuah ruang terbuka lain yang lebih besar dan terdapat beberapa pohon. Sebelum meninggalkan Neermahal, kami menikmati makan siang menu tradisional India, yang umumnya berbumbu kari dan rempah-rempah.
Neermahal menjadi salah destinasi wisata di Agartala. Untuk menarik wisatawan, setiap bulan Agustus tiap tahun, Pemerintah Negara Bagian Tripura dan asosiasi perjalanan wisata biasanya menggelar ”Festival Air Neermahal”. Lomba perahu di Danau Rudrasagar, yang diikuti berbagai jenis perahu, menjadi atraksi paling menarik di sekitar Neermahal. Festival yang sama juga digelar pada Desember.
Tak hanya Ujjayanta dan Neermahal, Agartala juga memiliki The Heritage Park, sebuah taman di pusat kota, yang diisi dengan berbagai tanaman, serta terdapat Akademi Sukanta, museum sains di jantung kota Agartala. Sebuah planetarium kecil juga didirikan di kompleks akademi tersebut untuk menarik para siswa, peneliti, dan ilmuwan.
Meski demikian, Agartala, yang merupakan kota terbesar kedua di wilayah timur laut India setelah Guwahati, adalah kota yang sepi. Bandar udaranya pun hanya untuk penerbangan domestik. Untuk sampai ke Agartala, wisatawan bisa menggunakan penerbangan dari bandara internasional Kalkutta atau dari Guwahati.
Pusat kota Agartala belum tertata, bahkan tidak ada pusat perbelanjaan besar di kota ini, kecuali toko-toko. Saya tidak menemukan tempat membeli oleh-oleh khas Agartala. Transportasi di kota ini masih sangat tradisional. Di jalan-jalan protokol, angkutan seperti becak dan bajai masih banyak dijumpai. Jangan kaget jika saat jalan-jalan di Agartala dan sekitarnya hampir tiap saat bersua pengemudi yang menyetir mobil sambil membunyikan klakson.
Terlepas dari kekurangannya, Agartala membiaskan sihir keindahan dari wajah India yang belum banyak dikenal.