Pengolahan Limbah dan Peran Serta Warga Menentukan Kualitas Air Baku
Mengatasi pencemaran Escherichia coli (E coli) atau koli tinja pada air baku untuk air bersih warga DKI Jakarta membutuhkan komitmen pemerintah dan masyarakat. Diperlukan sinergi kedua pihak untuk mengembangkan pengolahan limbah komunal guna mengendalikan pencemaran limbah rumah tangga ke aliran air baku di saluran dan sungai.
Air baku dari Waduk Jatiluhur yang dialirkan melalui Saluran Tarum Barat atau Kali Malang ini masih dicemari E coli dalam kadar yang cukup tinggi. Selama ini, air baku dari Waduk Jatiluhur sangat diandalkan sebagai sumber untuk menghasilkan air bersih oleh Perusahaan Air Minum Jaya (PAM Jaya), penyedia air perpipaan untuk warga DKI.
Konsentrasi E coli pada air Kali Malang itu di atas 2.000 jumlah sel (jml)/100 mililiter (ml), hingga pada 2018 teridentifikasi 1 juta jml/100 ml. Konsentrasi itu melampaui baku mutu yang ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001, bahwa kadar E coli pada air baku untuk air minum tak lebih dari 100 jml/100 ml.
Permasalahan utama pencemaran E coli yang sumber utamanya dari limbah rumah tangga ini dengan mudah dapat diamati di sepanjang bantaran Kali Malang. Bantaran saluran itu masih sulit dibebaskan dari hunian liar, lapak barang bekas, hingga tempat prostitusi.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Bekasi Hudaya di Bekasi, Kamis (7/2/2019), mengatakan, bantaran Kali Malang telah dihuni sejumlah warga lebih dari 10 tahun lalu. Mereka ada yang berasal dari Kabupaten Bekasi dan ada pula yang datang dari daerah lain.
Selain sebagai tempat tinggal, mereka juga menggunakan bantaran itu sebagai lapak barang bekas, penimbunan limbah sisa industri, dan tempat prostitusi.
Sementara Perum Jasa Tirta II sebagai pengelola aliran Kali Malang, menurut Hudaya, kurang peduli terhadap area bantaran Kali Malang. Ia menganggap Perum Jasa Tirta II cenderung membiarkan Kali Malang diokupasi hunian liar.
”Warga bisa tinggal di sana karena lahan kosong itu juga tidak dijaga oleh pemilik Kali Malang, yaitu Perum Jasa Tirta II,” ucap Hudaya.
Selain sebagai tempat tinggal, mereka juga menggunakan bantaran itu sebagai lapak barang bekas, penimbunan limbah sisa industri, dan tempat prostitusi.
Saluran Kali Malang yang memiliki panjang lebih dari 70 kilometer itu hanya sebagian kecil ruasnya yang dilindungi dengan pagar tembok. Sebagian besar bantaran saluran itu masih dibiarkan terbuka sehingga mudah diokupasi hunian liar. Papan larangan mendirikan bangunan di atasnya pun tak ada.
Seperti dijumpai di kawasan Kabupaten Bekasi, penggunaan pagar tembok dapat melindungi bantaran Kali Malang dari hunian liar. Namun, pagar tembok itu hanya beberapa ratus meter dan kondisinya sekarang sudah banyak yang rusak.
Hudaya menyebutkan, hunian liar di bantaran itu sangat merugikan. Sebab, pasokan air baku yang dialirkan di saluran Kali Malang tak hanya digunakan oleh DKI, tetapi sebagian kecil juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan air baku Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Bekasi dan Kota Bekasi.
Menurut Hudaya, pihaknya telah menertibkan hunian liar di sepanjang bantaran Kali Malang yang masuk wilayah Kabupaten Bekasi, hingga berkali-kali. Namun, karena tak ada ketegasan dari Perum Jasa Tirta II, warga terus kembali ke area bantaran itu.
”Terakhir penertiban dilakukan sebanyak lima kali sepanjang 2018. Ada sekitar 300 bangunan yang sudah ditertibkan, dari Desa Pasirsari di Cikarang Selatan hingga perbatasan dengan Kabupaten Karawang,” ucap Hudaya.
Ia mengatakan, selama proses penertiban, tidak pernah ada kendala berarti. Namun, potensi warga untuk menduduki bantaran kembali muncul karena lahan tersebut cenderung tidak diperhatikan Perum Jasa Tirta II selaku pengelola Kali Malang.
Oleh karena itu, ia meminta ketegasan pihak Perum Jasa Tirta II. ”Kami meminta ada kontribusi dari Perum Jasa Tirta II untuk menjaga saluran Kali Malang ini. Kami mengusulkan agar bantaran itu dipagari. Bisa juga dipasangkan papan pengumuman yang isinya larangan bagi warga untuk mendirikan hunian di bantaran,” tutur Hudaya.
Lintas sektor
Manajer Penelitian dan Pengembangan Perum Jasa Tirta II Hendra Rachtono, yang ditemui pada pertengahan Januari lalu, mengungkapkan, guna memperbaiki kondisi agar tak ada lagi warga yang menggunakan Kali Malang untuk mandi hingga buang hajat, dibutuhkan kerja sama lintas sektor.
”Kami tidak punya kewenangan untuk membongkarnya karena itu kewenangan pemerintah daerah dan satpol PP setempat. Dulu, beberapa kali kami melakukan penertiban jamban di sana juga bekerja sama dengan satpol PP setempat,” ucapnya.
Direktur Administrasi dan Keuangan PD Pengolahan Air Limbah (PAL) Jaya Hidayat Sigit menyampaikan, persoalan pencemaran E coli yang dihadapi Kali Malang tak jauh berbeda dengan persoalan pencemaran yang dihadapi saluran dan sungai-sungai di DKI.
Menurut dia, persoalan pencemaran E coli di saluran dan sungai tak lepas dari perilaku masyarakat dalam mengolah limbah rumah tangga. Oleh karena itu, untuk mengatasi persoalan ini, tak hanya dapat mengandalkan pemerintah, tetapi juga membutuhkan peran serta masyarakat.
”Limbah berbahaya biasanya masuk ke aliran sungai melalui saluran drainase yang tak terpantau. Dalam hal ini, kesadaran warga untuk turut berkontribusi mengelola limbah rumah tangga berperan penting menjaga kebersihan sungai,” lanjutnya.
Hingga saat ini, menurut Sigit, rendahnya kesadaran warga masih menjadi tantangan terbesar dalam upaya pihaknya memperbaiki kualitas air pada 13 sungai di Jakarta.
Secara teknis, lanjutnya, perbaikan kualitas air di ke-13 sungai itu dapat dilakukan dengan membangun instalasi pengolahan air limbah (IPAL) komunal di badan sungai. IPAL berguna untuk mencegah pencemaran limbah rumah tangga ke sungai. Namun, untuk merealisasikannya, dibutuhkan peran serta masyarakat agar ikut mengelola limbah rumah tangganya.
Sigit mengatakan, proyek percontohan pembangunan IPAL komunal telah dilakukan di Kali Sentiong. ”Proyek itu harus selesai pada September karena akan direplikasi untuk sungai lainnya,” kata Sigit yang dijumpai pada Jumat (8/2/2019), di Jakarta.
Tahun 2019, menurut rencana, bakal ada 10 lokasi pembangunan IPAL komunal di sepanjang Kali Sentiong, tepatnya di Kecamatan Kemayoran, Jakarta Pusat, dan Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Saat ini, proyek pembangunan IPAL masih proses lelang.
Menurut Sigit, nantinya jika fasilitas IPAL di Kali Sentiong sudah berfungsi sempurna, limbah rumah tangga yang masuk ke aliran sungai itu sudah melalui pengolahan terlebih dahulu. Dengan demikian, limbah rumah tangga yang dialirkan ke sungai tidak membahayakan lingkungan dan sesuai dengan baku mutu menurut Peraturan Gubernur Nomor 69 Tahun 2013 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 01 Tahun 2010.
”Limbah rumah tangga yang melalui pengolahan IPAL dapat menjadi air yang lebih baik kondisinya sehingga aman jika dialirkan ke sungai. Air hasil pengolahan IPAL ini bisa dipakai untuk menyiram tanaman dan menyiram toilet,” kata Sigit.
Baca juga:
- Suplai Air Baku Jakarta Bisa Dari 13 Sungai
- Separuh Daerah di Indonesia Tak Punya Sistem Pengolahan Limbah Tinja
Menurut Sigit, tidak menutup kemungkinan air hasil IPAL itu bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku oleh perusahaan air minum. Hal semacam itu, lanjutnya, sudah lama diterapkan di sejumlah negara maju. Bahkan, Singapura mampu memanfaatkan 60 persen air hasil pengolahan limbah untuk dikonsumsi kembali sebagai air minum.
”Di Indonesia, fokusnya satu dulu, yaitu mengolah air limbah agar tidak mencemari sungai,” ujarnya.
Sejak 2015, PT Palyja selaku mitra swasta PAM Jaya telah menggunakan air dari Kali Krukut, Kanal Barat, dan Cengkareng Drain untuk menambah suplai air baku. Kualitas air dari ketiga saluran dan sungai itu jauh lebih buruk dibandingkan air baku dari Kali Malang. Karena sangat buruk, air tersebut harus melalui dua kali pengolahan hingga diperoleh air bersih dan layak dikonsumsi.
Hingga kini, volume air Kali Krukut, Kanal Barat, dan Cengkareng Drain yang digunakan sebagai air baku masih relatif kecil, kurang dari 15 juta meter kubik per tahun. Sebaliknya, volume air baku dari Kali Malang yang digunakan PT Palyja mencapai hampir 200 juta meter kubik per tahun.
Terkendala kesadaran
Sementara itu, Direktur Utama PD PAL Jaya Subekti mengatakan, pengolahan air limbah kerap kali terkendala kesadaran warga. Banyak warga yang merasa berat mengeluarkan biaya untuk mengolah limbah rumah tangga yang biasanya dapat mereka buang secara gratis.
”Masih perlu proses edukasi agar warga menyadari manfaat pengolahan air limbah,” kata Subekti.
Selain itu, lanjutnya, sempitnya lahan di perkotaan menjadi tantangan lain yang perlu dipecahkan agar tangki septik dapat diletakkan dengan aman di permukiman warga.
Untuk membangun sinergi dari warga, Subekti menyampaikan, PD PAL Jaya saat ini menyediakan kredit mikro tangki septik bagi warga. Kredit ini menyediakan pinjaman atau kredit untuk pemasangan tangki yang kedap sesuai standar seharga Rp 3 juta. Pinjaman itu terutama untuk warga yang tak mampu membiayai pemasangan tangki penampungan limbah rumah tangga itu dengan tunai.
Menurut rencana, PD PAL Jaya akan menggandeng Bank DKI untuk menyediakan kredit bagi warga yang ingin melengkapi rumahnya dengan tangki septik yang kedap itu. Sebelumnya, PD PAL Jaya bekerja sama dengan Baitul Mal untuk menyediakan sarana kredit tersebut.
”Pada intinya, proses kredit akan dipermudah agar semakin banyak warga yang bisa ikut,” kata Sigit.
Nantinya, setelah tangki septik itu terpasang, warga akan dipungut biaya Rp 150.000 untuk mengolah 1 kubik limbah. ”Jika satu rumah terdiri dari lima orang, proses penyedotan hanya akan dilakukan empat tahun sekali,” lanjut Sigit. (PANDU WIYOGA)