Karyanya berawal dari keresahan melihat bambu-bambu di sekitar tempat tinggalnya di Desa Kandangan, Temanggung, Jawa Tengah, yang tidak dimanfaatkan. Singgih Susilo Kartono (50) berinisiatif membuat sepeda dari bambu. Kini, gerakan yang dimulai sejak 2013 itu telah dilirik orang-orang dari sejumlah negara.
Singgih mulai bersepeda sekitar tujuh tahun lalu. “Karena sering bersepeda, saya kemudian berpikir memanfaatkan bambu-bambu di sekitar rumah. Maka, saya coba untuk membuat desain sepeda bambu,” ujar Lulusan Desain Produk Institut Teknologi Bandung tahun 1992 ini.
Selama ini masyarakat desa berpikir, bambu sebagai sekadar bambu, yang dibuat menjadi keranjang dan peralatan rumah tangga. Padahal, nilai jualnya kurang tinggi.
“Padahal, jika kita kreatif, bambu itu dapat menjadi sesuatu yang bernilai tinggi. Contohnya, sepeda bambu dengan merek Spedagi (sepeda pagi), bisa menjadi produk yang mendapat penghargaan internasional,” kata Singgih yang memenangi “Best 20” berpredikat Gold Award G-mark atau Good Design Japan 2018 di Jepang.
Singgih menyampaikan, Spedagi tidak hanya sebagai sebuah merek, namun juga gerakan sosial yang fokus pada revitalisasi desa melalui pendekatan kreatif.
“Pada dasarnya, yang saya lakukan fokus pada revitalisasi desa. Sepeda bambu ini menjadi bentuk sumber daya lokal, yaitu bambu yang berlimpah, bisa dikembangkan menjadi produk berkualitas dengan nilai tambah tinggi,” paparnya.
Yang saya lakukan fokus pada revitalisasi desa.
Gerakan sosial ini sekaligus wujud kritikan Singgih yang melihat warga sekitar menjadikan daerah tempat bambu tumbuh sebagai lokasi pembuangan sampah.
“Melihat keadaan ini, saya mencoba membuat Pasar Papringan (tempat tumbuhnya bambu) di ruang kosong yang dikelilingi rumpun bambu. Biasanya digelar dua kali dalam 35 hari. Di pagelaran itu, lahan papringan dijadikan tempat berjualan oleh warga lokal, yang pembelinya datang dari berbagai daerah, seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Yogyakarta,” ujar Singgih.
Setiap kali Pasar Papringan digelar, warga Desa Kandangan, Temanggung, Jawa Tengah yang terdiri dari sekitar 110 kepala keluarga, menjual berbagai kuliner lokal, kerajinan lokal, dan hasil tani lokal. Melalui kegiatan ini, muncul aktivitas jual-beli yang 100 persen produknya merupakan hasil lokal.
“Pasar Papringan ini berdampak ekonomi tinggi. Yang semula tidak ada apa-apa, sekarang omzet dari satu kali gelaran bisa mencapai Rp 75 juta. Maka, saya berharap Pasar Papringan ini menjadi inspiratif bagi warga desa lainnya,” tutur Singgih.
Di Pasar Papringan itu pula, sepeda bambu selalu ditampilkan.
Saat ini, biaya produksi sepeda bambu tersebut masih cukup tinggi karena pembuatannya masih manual. Akibatnya, harganya bisa mencapai Rp 4 juta per rangka atau Rp 8 juta-Rp 11 juta per sepeda.
Dalam membuat sepeda bambu, Singgih dibantu timnya yang terdiri dari 16 warga lokal. Dalam sebulan, timnya dapat membuat sampai 20 rangka sepeda bambu. Untuk mengerjakan satu rangka sepeda bambu, satu orang memerlukan waktu hingga satu minggu.
“Rencananya, saya akan membuat desain baru untuk menurunkan biaya produksi, sehingga harga jualnya bisa terjangkau," ujar Singgih.
Ia bahkan ingin berkolaborasi dengan industri sepeda untuk membuat sepeda bambu Spedagi dengan harga yang lebih terjangkau, namun tetap berkualitas. Dengan harga yang lebih terjangkau, sepeda bambu akan lebih banyak dibeli orang. Penggunaannya juga bisa semakin luas.
”Harapannya, ketika membuka pintu rumah, saya melihat ada yang menggunakan sepeda bambu,” ujarnya.
Kembali ke desa
Kendati Spedagi sudah dilirik warga sejumlah negara, seperti Jepang dan India, Singgih tidak tertarik untuk mengekspor sepedanya. Ia lebih tertarik mengekspor gerakan yang diupayakannya. Ia beralasan, ingin mengoptimalkan pasar dalam negeri.
“Selain ingin membuat sepeda bambu yang bagus dan terjangkau, saya juga mau membuat kegiatan proyek revitalisasi desa. Secara internasional saya ingin mengajak anak muda untuk kembali dan berkarya di desa. Makanya saya tidak mengekspor produk, tapi mengekspor gerakan,” kata Singgih.
Spedagi yang saat ini sudah ada di Jepang, bukan diekspor langsung oleh Singgih. Namun, dibuat dengan memanfaatkan bambu lokal Jepang.
”Hal ini yang ingin saya kembangkan, membuat anak muda kembali melirik kehidupan di desa,” tambah Singgih dengan optimistis.
Selama ini, menurut dia, desa sulit berkembang karena orang-orang desa yang sudah mengenyam pendidikan di luar desanya, enggan kembali ke desa. Melalui gerakan Spedagi, ia ingin mengajak orang-orang berpendidikan dan berkeahlian datang ke desa dan memanfaatkan potensi lokal untuk membangun desa.
Yang ingin saya kembangkan, membuat anak muda kembali melirik kehidupan di desa.
Siapa pun bisa kembali ke desa dan memiliki profesi seperti di kota. “Ini namanya kembali ke masa lalu dalam wujud yang baru,” tambah Singgih sambil mencontohkan dirinya sendiri. (Sharon Patricia)