Separuh Daerah di Indonesia Tak Punya Sistem Pengolah Limbah Tinja
Oleh
Khaerudin
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lemahnya kesadaran warga untuk turut mengelola limbah tinja berakibat pada tercemarnya sumber air bersih. Untuk itu, pembangunan fasilitas pengolahan limbah tinja perlu dipercepat agar memotivasi tumbuhnya kesadaran warga. Sementara hampir separuh daerah di Indonesia tak punya sistem pengolahan limbah tinja.
Meski demikian, jumlah orang Indonesia yang buang air besar sembarangan terus menurun dari tahun ke tahun. Saat ini yang dibutuhkan adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran warga mengolah limbah tinja mereka.
”Yang buang air besar sembarangan (BABS) sudah mulai menurun jumlahnya, kini saatnya mulai berpikir cara mengolah limbah tinja itu,” kata Penasihat Pengembangan Teknis dan Kelembagaan Air Perkotaan, Sanitasi, dan Kebersihan Indonesia serta Penyehatan Lingkungan untuk Semua (IUWASH PLUS), Foort Bustraan, Jumat (8/2/2019), di Jakarta.
Pada 2005, penduduk Indonesia yang mempraktikkan BABS 25,2 persen atau 56,5 juta orang. Berdasarkan penelusuran Litbang Kompas dari laman washdata.org, jumlah itu sudah menurun menjadi hanya setengahnya atau 12,5 persen pada 2015.
Namun, Foort menyayangkan perbaikan terhadap pola buang air besar itu tidak diimbangi dengan bangkitnya kesadaran mengolah limbah tinja yang diproduksi. ”Kalau tangki septik di rumah merembes, itu artinya kita turut bertanggung jawab membuat sungai di Jakarta menjadi hitam tercemar,” katanya.
Menurut Direktur Perkotaan, Perumahan, dan Permukiman Kementerian Perencanaan Pembangunan Negara (PPN/Bappenas) Tri Dewi Virgiyanti, kesadaran warga berkontribusi membayar tarif pengolahan limbah tinja masih rendah. Bahkan, warga kerap menganggap tangki septik yang bocor justru menjadi keuntungan karena tidak perlu membayar biaya sedot WC.
”Saat ini, pemerintah tengah berupaya menyisipkan penanaman kesadaran mengolah limbah tinja dalam sosialisasi program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat,” kata Virgiyanti. Hal itu dimaksudkan agar kesadaran mengolah limbah tinja juga menjadi bagian pemahaman sanitasi yang baik secara utuh.
Foort mengatakan, buang air besar di WC yang tangki septiknya bocor sama saja dengan BABS. ”Itu, kan, namanya hanya pindah tempat, tetapi tetap saja mencemari lingkungan,” ujarnya.
Pembangunan dikebut
Ketua Forum Komunikasi Pengelola Air Limbah Pemukiman (Forkalim) Subekti mengatakan, dari total 512 kabupaten/kota di seluruh Indonesia, sistem pengolahan limbah tinja baru ada di 266 kabupaten/kota. Artinya masih ada 246 atau 48 persen kabupaten/kota yang belum memiliki sistem pengolahan limbah tinja.
Sebanyak 13 kota/kabupaten memiliki sistem pengolahan terpusat yang mengandalkan jalur pipa untuk menyalurkan limbah tinja ke instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Sementara 253 kota/kabupaten mengandalkan model sistem setempat yang menggunakan mobil tangki untuk memindahkan limbah tinja dari rumah warga ke IPAL terdekat.
”Untuk mempercepat pembangunan sistem pengolahan limbah, pemerintah bisa bekerja sama dengan pihak swasta sebagai perpanjangan tangan,” kata Subekti. Ia menyarankan, agar sistem pengolahan limbah model setempat segera direplikasi karena lebih mudah dan lebih cepat dibangun.
Pada model itu, pihak swasta bisa berkontribusi menyediakan alat angkut dan membantu pembangunan tangki septik di permukiman warga. Subekti mencontohkan, PD PAL Jaya saat ini menyediakan kredit mikro pengadaan tangki septik bagi warga.
Kredit ini menyediakan pinjaman pemasangan tangki septik kedap sesuai standar untuk warga yang tak mampu membayar secara tunai. PD PAL Jaya memproduksi sendiri tangki septik kedap yang salah satu tipenya seharga Rp 3 juta (Kompas, 23/11/2018). (PANDU WIYOGA)