Menembus Batas dengan Kereta Komuter
Kereta rel listrik terakhir jalur Tanah Abang menuju Rangkas Bitung pada Kamis (7/2/2019) pukul 21.45 WIB menjadi harapan Andara Alimudin (36) untuk bisa berkumpul dengan keluarganya sebelum pergantian hari. Pegawai bank swasta ini rela berdesakan dan menempuh perjalanan dua jam untuk bisa sampai di rumahnya. Hampir tiap hari kerja ia melakukan rutinitas ini.
"Capek sih, tetapi yah namanya kerja mau apa lagi. Lagian ada weekend yang bisa saya gunakan untuk beristirahat total atau liburan saat merasa jenuh," kata perempuan yang akrab disapa Dara ini.
Dara yang memiliki seorang anak ini terkadang memilih menginap di rumah keluarganya di Jakarta jika ketinggalan kereta atau sedang kelelahan untuk menempuh perjalanan jauh. Namun, ia tak bisa sering menginap di Jakarta karena anak dan suaminya menunggu di rumah.
Beberapa kali Dara dibujuk suaminya untuk berhenti bekerja karena merasa kasihan melihatnya pulang malam. Namun, Dara menolaknya karena ia merasa senang bekerja.
"Saya sudah pernah merasakan tidak bekerja, tetapi itu membuat saya tersiksa. Saya terbiasa bekerja sejak selesai kuliah. Selama saya masih kuat saya ingin menikmati bekerja dulu," kata Dara, sambil berdiri di dalam kereta komuter.
Kereta komuter menjadi kendaraan publik yang banyak diminati para pekerja, terutama bagi mereka yang berasal dari daerah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi atau Bodetabek. Selain karena biayanya yang murah, angkutan ini juga lebih cepat dibandingkan kendaraan umum yang tersedia di Jabodetabek saat ini.
Hal itu yang membuat kereta rel listrik (KRL) keberangkatan terakhir dari Jakarta menuju Bodetabek masih banyak diminati penumpang. KRL tidak hanya memperlihatkan banyaknya masyarakat Bodetabek bekerja atau beraktivitas di Jakarta, tetapi juga menunjukkan orang-orang yang ulet bekerja untuk bertahan hidup di Ibu Kota.
Seperti yang terlihat di kereta komuter terakhir pada jalur Tanah Abang menuju Rangkas Bitung. Pada angkutan umum milik Direktorat Jenderal Perkeretaapian Republik Indonesia ini, sebagian penumpang menampakkan wajah kelelahan, banyak yang sampai tertidur.
Tidak terkecuali bagi Darniati (27) warga Lebak, Banten. Di tempat duduk kereta komuter, ia tertidur. Sesekali ia terbangun dan mengecek lokasi KRL.
"Sudah sering tertidur di KRL kalau pulang kerja. Pertama-tama saya sering terlewat di tujuan Stasiun Maja, tetapi sekarang sudah tidak lagi. Setiap kereta berhenti di stasiun, saya sudah refleks bangun," kata Darni, saat diwawancarai di Stasiun Maja, Serang, Banten.
Darni seringkali pulang menggunakan KRL terakhir, naik dari Stasiun Kebayoran yang terdekat dari tempat kerjanya di Cilandak, Jakarta Selatan. Walau jadwal kerjanya selesai pukul 17.00 WIB, ia bisanya pulang terlambat karena ada pekerjaan tambahan. Padahal, Darni berangkat kerja saat matahari belum terbit. Ia meninggalkan rumahnya sejak pukul 5.30 WIB.
Jakarta dan kesibukannya menuntut para penghuni mampu mengikuti ritmenya. Tidak hanya di jam pergantian hari, tapi di awal memulai hari pun, Ibukota menuntut warganya untuk segera memulai aktivitas lebih awal. Kereta komuter juga memberikan pertunjukan perjungan pekerja di saat matahari belum terbit.
Pada Jumat (8/2/2019) pukul 04.00 WIB, KRL dari Stasiun Rangkas Bitung mulai berangkat menuju Stasiun Tanah Abang. Perjalanan yang melewati 17 stasiun ini telah mengangkut banyak penumpang hingga membuat tempat duduk yang disedakan telah penuh. Banyak pula penumpang yang harus berdiri karena tidak kebagian kursi.
"Walaupun sudah berangkat subuh, tetapi kereta sudah penuh. Sudah tidak dapat tempat duduk lagi. Baru mau sampai kantor belum mulai bekerja, sudah pegal," canda Bramanto (41), salah satu penjaga toko di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Penumpang silih berganti masuk kereta saat kereta komuter berhenti di stasiun. Penampilan mereka pun beragam. Dari yang berseragam resmi sebuah perusahaan, menggunakan batik, kemeja, hingga hanya menggunakan kaos oblong.
Tujuan mereka pun berbeda, tetapi banyak di antaranya berangkat untuk bekerja. Ada pegawai swasta, penjaga toko, hingga pedagang sayur yang memulai perjuangannya di KRL ini.
Perjuangan dimulai dari mereka harus berbagai tempat tempat dengan barang bawaan penumpang lain yang terlihat lebih banyak dibandingkan di jam lain. Pasalnya, banyak pedagang dari Banten yang akan berdagang di pasar Jakarta sehingga mereka membawa banyak barang, terutama sayuran dan makanan.
Aminah (40) misalnya, ia naik dari Stasiun Sudimara menuju Stasiun Kebayoran membawa dua keranjang besar berisi nasi pecel dagangannya. Karena tempat penyimpanan barang tidak cukup menampung keranjangnya, maka ia menyimpan keranjang itu di lantai.
"Tiap hari begini, saya berangkat sendiri. Pikul satu keranjang di kepala, satu di tangan menuju stasiun. Di kereta (commuter) saya senang bisa santai apalagi kalau dapat tempat duduk. Nanti sampai di Kebayoran baru keliling pikul keranjang lagi," kata Aminah, sambil tersenyum.
Walau terlihat berat, Aminah tetap berusaha mensyukuri aktivitas itu. Aminah juga mengatakan senang menggunakan kereta komuter karena bisa bertemu pedagang lain dan saling sapa.
Di kereta komuter pertama ini memang banyak ditumpangi pedagang sayuran, buah, dan makanan. Mereka umumnya berhenti di Stasiun Palmerah untuk berjalan lagi menuju Pasar Palmerah tempat mereka berdagang.
Penumpang KRL memiliki tujuannya masing-masing dengan beragam aktivitas yang mereka tuju. Namun, mereka memiliki tantangan yang sama, bertahan di ibukota dengan cara yang berbeda. Terpenting, bukan sekedar bertahan, tetapi menikmati dan mensyukuri kehidupan.
(SITA NURAZMI MAKHRUFAH)