Sepuluh provinsi di Indonesia belum berhasil mengeliminasi penyakit kusta. Pasalnya prevalensi pengidap kusta di provinsi tersebut, masih lebih dari 1 per 10.000 penduduk.
Oleh
A Ponco Anggoro
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sepuluh provinsi di Indonesia belum berhasil mengeliminasi penyakit kusta. Pasalnya prevalensi pengidap kusta di provinsi itu masih lebih dari 1 per 10.000 penduduk. Padahal, pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, semua provinsi ditargetkan sudah mengeliminasi kusta pada 2019.
”Sepuluh provinsi itu ialah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Wiendra Waworuntu, di Jakarta, Kamis (7/2/2019).
Kusta atau lepra merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Jenis bakteri itu menyerang kulit dan sistem saraf tepi. Kusta bisa memicu cacat permanen jika terlambat diobati.
Padahal, pada 2019 pemerintah melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 menargetkan semua provinsi di Indonesia bisa mengeliminasi kusta.
”Saya tidak yakin target ini akan tercapai karena sampai saat ini daerah Maluku dan Papua prevalensinya masih tinggi,” kata Wiendra.
Prevalensi kusta tertinggi berada di Papua Barat, yaitu 11,48 per 10.000 penduduk.
Stigma
Para ahli di dunia meyakini penyakit kusta terdokumentasi pertama kali di lembar papirus Mesir tahun 1550 sebelum Masehi. Sejak dulu, pengidap kusta dikucilkan karena penyakit itu dianggap sebagai sebuah kutukan.
Menurut Sri Linuwih dari Komite Ahli Eliminasi Kusta, penanganan kasus kusta bukan hanya tanggung jawab tenaga ahli kesehatan. Dalam hal ini, keluarga dan masyarakat berperan besar mendorong pengidap kusta mengikuti proses pengobatan hingga tuntas.
Sri menuturkan, pengidap kusta bisa sembuh dengan mengonsumsi obat multi-drug therapy (MDT). Bagi pengidap kusta tipe kering, obat itu harus dikonsumsi selama enam bulan tanpa putus. Adapun pengidap kusta tipe basah harus mengonsumsinya selama 12 bulan.
”Stigma masyarakat biasanya membuat pengidap kusta menyembunyikan diri,” kata Sri. Akibatnya kerap kali penanganan yang didapatkan menjadi terlambat. Kusta bisa diobati, tetapi cacat fisik akibat penyakit itu tidak bisa diperbaiki.
Sri menambahkan, meskipun tergolong penyakit menular, kusta sangat sulit menular. Sebanyak 95 persen orang kebal terhadap kuman kusta, sementara 5 persen sisanya dapat terinfeksi.
Masa inkubasi kuman kusta di tubuh manusia rata-rata lima tahun. Tanda pertama yang muncul pada pengidap kusta adalah bercak putih atau kemerahan yang mati rasa di permukaan kulit.
”Penyakit kusta dapat menular melalui kontak yang lama dan erat dengan pengidap,” kata Sri. Ia mengatakan yang termasuk dalam kontak lama dan erat ialah pertemuan di satu ruang yang berlangsung selama tiga bulan berturut-turut atau 20 jam per minggu.
Oleh karena itu, Sri menegaskan, tidak perlu ada ketakutan yang berlebih jika bertemu pengidap kusta. ”Mari kita dorong mereka agar berobat secara teratur. Mereka tidak berbahaya dan mereka butuh dukungan kita,” ujarnya. (PANDU WIYOGA)