Oei Him Hwie, Jurnalis Penjaga Kepingan Sejarah
”Jurnalis itu harus terus membaca, menulis, dan selalu bertemu rakyat. Kumpul tukang becak, sopir bemo. Membaca dan menulis membuat otak kita jalan. Bertemu masyarakat akan menjadikan kita mendapat berita. Kalau tidak bertemu masyarakat, bagaimana bisa menulis berita? Jadinya ngarang.”
Demikian penuturan Oei Him Hwie, jurnalis surat kabar Trompet Masjarakat era Soekarno, akhir Januari lalu, di Perpustakaan Medayu Agung, Jalan Medayu Selatan IV nomor 42-44, Kelurahan Medokan Ayu, Rungkut, Surabaya, Jawa Timur.
Pagi itu, sekitar pukul 10.00, Pak Wi (Oei Him Hwie biasa dipanggil) tampak segar dan ceria. ”Silakan masuk,” katanya, begitu saya tampak di depan pintu perpustakaan itu. Saya pun mengenalkan diri. Senang rasanya, akhirnya bisa bertemu dengan salah satu jurnalis senior yang sudah berpengalaman melintasi zaman.
Sehari sebelumnya, saya ke sana dan gagal bertemu. Saya datang cukup siang, lewat tengah hari. Padahal, menurut penjaga perpustakaan itu, Pak Wi biasanya datang pagi, pukul 09.00-11.00. Selebihnya ia harus pulang karena harus minum obat.
Perkenalan kami cukup berkesan. ”Saya ini orang Malang lho,” katanya, begitu menyebut asal kota saya tinggal. Ia menyebut berasal dari Klojen, tepatnya di Jalan Aris Munandar. Lalu, saat diingatkan bahwa ia pernah berdiskusi dengan orang Malang di rumah sastrawan Ratna Indraswari Ibrahim (almarhumah), ia tampak masih sangat mengingatnya. ”Ah iya…,” jawabnya.
Selanjutnya, pembicaraan pun mengalir. Ia menceritakan kisahnya bisa mewawancarai Soekarno. Untuk bisa mewawancarai orang nomor satu di Indonesia itu, Pak Wi ingat bahwa wartawan harus tampil rapi. ”Baju tidak perlu baru, tetapi harus bersih dan rapi. Satu kancing baju saja tidak terkancingkan, maka beliau akan mengancingkannya,” kenangnya.
Saat itu, Pak Wi mewawancarai Soekarno di bagian belakang rumah. Dengan setelan rapi khas dan berpeci hitam, Soekarno duduk dan tersenyum. Pak Wi memotret momen indah itu dengan jelas. Fotonya kini terpasang besar di bagian depan ruangan perpustakaan (tepatnya sebelah kanan setelah masuk ruangan).
Satu hal diingat oleh Pak Wi adalah kebaikan hati Soekarno. Bahwa ia pernah menerima sebuah jam tangan warna kuning (diduga berlapis emas) dari Soekarno. ”Saat itu beliau bertanya, kenapa saya tidak mengenakan jam. Saya bilang belum mampu membelinya. Dan tiba-tiba saja, beliau melepas jam tangannya dan memberikannya kepada saya,” kata Pak Wi sambil menunjukkan jam tangan itu masih tetap kuning dan tidak karatan sejak saat itu.
Saat ditanya apakah Soekarno adalah kepala negara yang rewel akan pemberitaan, Pak Wi menggeleng. Ia mengatakan, Soekarno tidak suka marah-marah kepada wartawan. Mungkin, hal itu berbeda dengan kondisi sekarang di mana banyak petinggi suka nyalah-nyalahin wartawan jika berita tidak sesuai dengan keinginan mereka.
Sambil bercerita, Pak Wi menunjukkan beberapa koleksi buku, koran lama, dan kliping yang dibuatnya. ”Kliping itu buat dibaca-baca. Biar ini terus jalan,” katanya sambil tangannya menunjuk ke kepala. Ya, setiap pagi, menurut Didin (salah seorang penjaga Perpustakaan Medayu Agung), Pak Wi selalu datang ke perpustakaan untuk membaca koran dan mengkliping berita yang disukainya.
”Berita apa yang Bapak kliping? Bagaimana memilih berita yang layak untuk dikliping?” kata saya ingin tahu. ”Ya berita tentang sejarah dan politik. Di luar itu, misalnya sepak bola, saya tidak punya. Karena bukan fak saya,” katanya. Pak Wi memang mendedikasikan koleksi dan buku-bukunya untuk membuat perpustakaan sejarah dan politik, makanya lahir Perpustakaan Medayu Agung.
Ditahan
Dalam pertemuan itu, Pak Wi dengan antusias menceritakan kisah hidupnya. Ia yang ditugasi oleh kantor untuk meliput aktivitas Soekarno, akhirnya ikut ditahan dan ditangkap oleh pemerintahan Orde Baru. Ia dijebloskan di Pula Buru setelah sebelumnya ditahan di LP Nusakambangan. Buku, kliping, dan dokumen milik Pak Wi sebagian besar dibakar oleh pemerintah. Adiknya sempat menyelamatkan sedikit dokumen tersisa (hanya sepertiga saja) di loteng rumah. Sisa dokumen itulah yang kini mengisi Perpustakaan Medayu Agung.
Pak Wi bercerita bahwa dalam perjalanan dari Nusakambangan ke Pulau Buru, ia bertemu dengan Pramoedya Ananta Toer. Sepanjang jalan itulah ia menimba banyak ilmu. ”Anggap saja saya guru dan kamu murid. Bertanyalah banyak hal,” kenang Pak Wi menirukan omongan Pram kala itu.
”Saat itu komunitas pengarang internasional memprotes karena Pram tidak bisa menulis. Akhirnya, Soeharto memberinya mesin ketik. Itu pun seharusnya dikasih mesin ketik baru pemberian Belanda. Nmaun, ia diberi mesih ketik bekas, di mana pitanya sudah mulai lubang-lubang. Beruntungnya, pita itu bisa diakali dengan klerek (atau kluwak) dan bisa digunakan,” katanya mengenang.
Masalah mesin ketik teratasi, kini ganti masalah kertas. Pram ditahan tanpa diberi kertas dan alat tulis sama sekali. Namun, orang zaman itu tidak pernah kehilangan akal. Pak Wi memotongi kertas semen yang jadi pembungkus batu umpak (umpak rumah) dan menjadikannya sebagai kertas tulis. ”Ternyata bisa. Maka, Pram bisa mengetik di kertas-kertas semen itu,” kata Pak Wi. Tulisan-tulisan itu kemudian menjadi masterpiece tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer.
Tahun 1978, saat Pak Wi bebas, Pram menitipkan satu paket besek (keranjang anyaman bambu). Untungnya, menurut Pak Wi, titipan itu tidak pernah diperiksa petugas. Sampai rumah, titipan Pram tetap disimpan dengan baik.
Tahun 1979, saat Pram juga bebas, titipan itu oleh Pak Wi dibawa ke Surabaya untuk dikembalikan kepada Pram. Namun, saat itu Pram menolaknya. Ia meminta Pak Wi tetap menyimpannya. Bungkusan itu pun sempat dibuka. Isinya adalah tulisan-tulisan Pram selama di Pulau Buru—termasuk karya tetralogi Buru.
”Pram justru menyimpan fotokopian dari tulisan-tulisan itu. Sementara aslinya, Pram meminta agar saya tetap menyimpannya. Pram minta diberi fotokopiannya saja. Alasannya, kalau punya Pram dirampas, yang dirampas adalah fotokopian,” kata Pak Wi.
Pram justru menyimpan fotokopian dari tulisan-tulisan itu. Sementara aslinya, Pram meminta agar saya tetap menyimpannya. Pram minta diberi fotokopiannya saja. Alasannya, kalau punya Pram dirampas, yang dirampas adalah fotokopian.
Meski telah bebas dari tahanan, Pak Wi berkata hidupnya tak juga langsung menjadi baik. Ia keluar dengan mengantongi KTP-ET (eks tapol). KTP itu membuatnya tidak diterima kerja di mana-mana, tidak bisa mengajukan kredit ke bank. Setiap saat, selalu ada intel mengawasinya.
Diselamatkan Haji dan Gus
Berkat bantuan dari Haji Masagung di Malang, Pak Wi mendapat dukungan untuk bisa pindah ke Surabaya. Harapannya, di Surabaya Pak Wi bisa melanjutkan hidup lebih baik. ”Kalau di sini, kamu tidak akan bisa berkembang. Lebih baik kamu pindah ke Surabaya,” kata Haji Masagung sebagaimana ditirukan oleh Pak Wi.
Di Surabaya, Pak Wi mulai membuka usaha toko buku. Saat itu pernah ada pasangan bule asal Australia datang ke tokonya untuk membeli koleksi buku-buku dan dokumen milik Pak Wi. Mereka mengaku akan membuka semacam lembaga ilmu pengetahuan Indonesia di Australia. Mereka menawarkan uang sekitar Rp 1 miliar pada tahun 1980-an. Nilai sangat fantastis untuk masa itu.
”Tapi saya tolak. Kalau buku-buku sejarah itu dibawa mereka, mau diapakan kisah sejarah kita, tergantung mereka. Mau diputarbalikkan sejarahnya seperti apa, tergantung mereka. Makanya saya tolak. Kini, buku-buku dan dokumen sejarah ini saya bagi dengan generasi penerus agar mereka paham sejarah yang sesungguhnya,” kata Pak Wi.
Tahun 2000, setelah era Gus Dur, Pak Wi mulai menunjukkan sedikit demi sedikit buku dan dokumen koleksinya yang tersisa ke publik. ”Dahulu, buku dan koleksi itu saya lihat diam-diam. Takutnya dirampas seperti sebelumnya,” katanya.
Kini, Pak Wi tidak perlu takut-takut membagi ilmu dan kisahnya kepada banyak orang. Pemerintah Kota Surabaya telah mendukung keberadaan perpustakaan itu melalui sebuah yayasan. Ada yayasan yang menjadi pengelola tetap perpustakaan itu, di mana di dalamnya ada Wali Kota Surabaya.
Pak Wi tak perlu takut lagi membagi dan menyembunyikan kepingan sejarah yang disimpannya. Bahkan, ia akan sangat senang jika ada orang bisa menerjemahkan dan mendigitalisasikan buku-buku ”babon” koleksinya agar tetap bisa dibaca bertahun-tahun kemudian oleh generasi penerus bangsa.
Baca juga: Buku, Saksi Perjalanan Hidup Oei