JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian kembali menangkap penjual obat tak berizin di Jakarta dan sekitarnya. Sebagian dari obat-obatan dijual kepada anak-anak sekolah.
Subdirektorat I Industri dan Perdagangan Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya menangkap tujuh penjual obat tak berizin sepanjang Januari 2019. Sebanyak 26.006 butir obat tak berizin, terdiri dari Tramadol, Hexymer, Trihexyphenidyl, Alprazolqm, dan Double L.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono mengatakan, penjualan obat itu seharusnya menggunakan izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan dijual dengan resep dokter.
”Kasus ini terungkap berawal dari penangkapan yang dilakukan Polsek Kembangan awal tahun 2019. Setelah didalami, ternyata praktik serupa terdapat di banyak tempat di Jakarta,” ujar Argo dalam konferensi pers di Markas Besar Polda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (7/2/2019).
Setelah polisi mengumpulkan informasi, ada tujuh toko yang diduga menjual obat-obatan tanpa izin. Toko obat dan kosmetik itu tersebar di Kota Bekasi sebanyak 3 toko, di Jakarta Timur (2 toko), dan di Jakarta Barat (2 toko).
Satu paket obat berisi lima butir pil dijual Rp 10.000-Rp 50.000. Saat ini, polisi mendalami kasus ini untuk mengetahui penyuplai obat.
”Hasil pemeriksaan awal kepada tersangka, mereka ditawarkan oleh sales. Mereka bilang, banyak sales obat yang datang menawarkan ke toko mereka,” ucap Argo.
Halusinasi
Obat-obatan itu dijual kepada anak usia sekolah menengah, baik SMP maupun SMA. Jika dikonsumsi tanpa resep dokter dan dengan dosis berlebih, manusia bisa mendapatkan efek melayang dan kecanduan.
Ketua BPOM DKI Jakarta Zulfikar mengatakan, obat-obat yang disita merupakan golongan G. Obat golongan itu bisa diperjualbelikan di apotek dengan izin dan hanya bisa dijual dengan resep dokter.
Ia mengatakan, Hexymer merupakan obat untuk penderita parkinson. Sementara beberapa obat lain ada yang digunakan sebagai obat untuk penderita skizofrenia.
”Jika dikonsumsi, bisa menimbulkan efek tenang. Kalau dikonsumsi berlebihan dan tidak sakit apa-apa, bisa menimbulkan halusinasi dan kecanduan,” ujar Zulfikar.
Ia juga mengatakan, terdapat obat yang dicurigai diproduksi bukan oleh perusahaan resmi. Beberapa obat terakhir diproduksi resmi tahun 2015, tetapi terdapat obat yang masa kedaluwarsanya tahun 2022, yang artinya diproduksi setelah tahun 2015.
Argo mengatakan, segala kejanggalan itu masih didalami polisi. Ia pun mengimbau orangtua mengawasi anak-anak mereka yang masih usia sekolah.
Tujuh pemilik toko yang ditahan dijerat dengan Pasal 106 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan ancaman penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 1,5 miliar.
Selain itu, tersangka juga melanggar Pasal 8 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda maksimal Rp 2 miliar. (SUCIPTO)