Madina Nusrat/Dhanang David Aritonang/Ryan Rinaldy
·5 menit baca
Tak selamanya bakteri di dalam air menimbulkan masalah. Bakteri juga dapat membantu mengendalikan polutan kimiawi yang ada di dalam air. Peranan bakteri itu mulai digunakan dalam pengolahan air perpipaan di Jakarta, baik oleh PT Aetra maupun PT Palyja selaku mitra swasta Perusahaan Air Minum Jaya.
Hingga kini seluruh air baku yang digunakan PT Palyja dan PT Aetra berkualitas buruk. Air baku dari Waduk Jatiluhur, Jawa Barat, yang dialirkan melalui Saluran Tarum Barat atau Kalimalang, itu memiliki konsentrasi koli tinja atau Escherichia coli (E coli) sebanyak ratusan ribu koli tinja per 100 mili liter. Terlebih air baku dari Kali Krukut, Kanal Barat, dan Cengkareng Drain, yang memiliki konsentrasi bakteri lebih banyak lagi.
Padahal Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 menetapkan konsentrasi koli tinja pada air baku tak boleh lebih dari 100 koli tinja/100ml. Melalui teknologi Moving Bed Biofilm Reactor (MBBR) dan Biofilter, jutaan bakteri yang mencemari air baku Kali Krukut, Kanal Barat, dan Cengkareng Drain, itu digunakan untuk menangkap unsur kimia yang ikut mencemari air baku tersebut.
Pra pengolahan
Kedua macam teknologi itu diterapkan pada tahap pra pengolahan, sebelum air baku diolah di instalasi pengolahan air (IPA) yang dioperasikan PT Palyja, yakni IPA 1 dan IPA 2 Pejompongan, IPA Cilandak, dan IPA Taman Kota. Operation and Thecnical Director PT Palyja, Wilmart Siburian menjelaskan, pengolahan air dengan MBBR itu dilaksanakan dengan menggunakan bak pengolahan.
Air baku yang sangat kotor dari Kali Krukut, Kanal Barat, dan Cengkareng Drain, itu dimasukkan ke dalamnya. Kemudian di dalam bak itu ada butiran-butiran bio-media seukuran batu kerikil yang menjadi rumah bagi koloni bakteri yang hidup di air baku tersebut. “Butirannya (bio-media) harus banyak. Tapi butiran ini tidak boleh terbawa aliran, dia harus diam di tempat,” jelas Wilmart.
Menurut Wilmart, air baku harus dialirkan secara perlahan ke dalam bak pengolahan itu, sehingga unsur-unsur kimia yang mencemari air akan ditangkap oleh bakteri yang sudah tinggal di dalam bio-media tersebut. Seperti proses pengolahan pada MBBR di Kanal Barat, itu minimal berlangsung selama 74 menit. “Jadi air itu harus dialiri perlahan, sehingga bakteri sempat memakan polutan di air baku tersebut,” jelasnya.
Unsur kimia yang ditangkap bakteri itu diantaranya amonia (NH4) dan Mangan (MN). “Nah itu (amonia dan mangan) dimakan si bakteri,” imbuh Wilmart.
Baru kemudian air baku dari Kanal Barat itu diolah di IPA 1 dan 2 Pejompongan bersama air baku dari Waduk Jatiluhur. Pada saat dicampur air baku dari Kanal Barat dan Waduk Jatiluhur itu dalam level kualitas yang setara.
Menurut Wilmart, air baku dari Kanal Barat itu sangat buruk kualitasnya, sehingga unsur kimia yang mencemari harus dikurangi sehingga setara dengan kualitas air baku Waduk Jatiluhur. “Kualitas air baku Kanal Barat itu buruk sekali, parah. Kita harus turunkan dulu dengan bantuan bakteri yang ada di air itu sendiri,” jelasnya.
Sementara bakteri yang lolos bersama aliran air baku, akan masuk ke filter dan diberikan klorin (Cl) atau kaporit di instalasi pengolahan air. Air baku tersebut kemudian didiamkan selama 30 menit untuk mematikan bakteri yang masih ada. “Sudah pasti mati (bakterinya) dalam 30 menit (dalam rendaman kaporit),” jelas Wilmart.
Bantuan bakteri untuk mengurai unsur kimia di dalam air baku juga digunakan PT Aetra. Corporate and Customer Communication Manager PT Aetra, Astriena Veracia, melalui stafnya Ninuk, menyampaikan bahwa belakangan Aetra menggunakan biofilter untuk mengolah air baku.
Dalam prosesnya, mikroorganisme yang ada di dalam air baku dibiarkan hidup di media pasir yang dijadikan filter. Mikroorganisme itu kemudian akan mengonsumsi material organik (amonia) dan oksigen. Hasilnya partikel organik dan anorganik dapat disisihkan dari air baku. Bantuan mikroorganisme itu menggantikan peran bahan kimia klorin yang selama ini digunakan sebagai oksidator.
Penerapan biofilter itu dapat menekan biaya penggunaan klorin atau kaporit hingga 60 persen. Contohnya pada 2015, biaya penggunaan bahan kimia sebesar Rp 159 per meter kubik air, pada tahun berikutnya dapat ditekan menjadi Rp 102 per meter kubik. Pada 2017, biaya bahan kimia untuk mengolah air baku dapat ditekan lagi menjadi Rp 88 per meter kubik.
Menurut kajian Kelompok Teknologi Pengelolaan Air Bersih dan Limbah Cair, Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), sepert dikutip dari jurnal BPPT, proses biofilter memiliki beberapa kemampuan yakni mengubah ammonia menjadi gas nitrogen yang tak berbahaya bagi lingkungan, menghilangkan polutan organic, menambah oksigen, termasuk menghilangkan kekeruhan dan menjernihkan air. Selain itu, proses biofilter juga dapat menghilangkan bermacam-macam senyawa organik.
Pengujian terhadap dua sampel air perpipaan yang diolah PT Atrea dan PT Palyja, yang dilakukan Kompas, itu pun menunjukkan hasil yang baik. Kedua sampel itu diambil dari rumah Noin Ependi (69) yang berada di permukiman padat penduduk di pesisir Cilincing, Jakarta Utara. Sampel kedua diambil di salah satu unit Rumah Susun Sederhana Sewa Tanah Merah, Penjaringan, Jakut, yang ditempati Awan (51).
Pengambil sampel sengaja dilakukan di Jakarta Utara dengan asumsi daerah itu merupakan area yang paling jauh dari tempat pengolahan air bersih PT Aetra maupun PT Palyja yang berada di tengah kota Jakarta.
Adapun kedua sampel diuji laboratorium PT ALS Indonesia di Sentul, Jawa Barat. Hasil pengujian menunjukkan kedua sampel air itu memenuhi standar Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 32 Tahun 2017. Sebanyak 20 jenis dan logam berat yang diuji pada sampel itu tak ada yang melampaui parameter yang ditetapkan permenkes. Di air itu juga tak ditemukan bakteri koli tinja, meskipun air baku yang digunakan tercemar koli tinja cukup parah. (Benediktus Krisna Yoga / Helena F Nababan)