Implementasi Industri 4.0 Perlu Disesuaikan dengan Karakteristik Industri
Oleh
M Fajar Marta
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Perkembangan revolusi industri 4.0 bertujuan meningkatkan produktivitas, membuka usaha baru, dan memperluas pasar bagi industri nasional. Kendati demikian, belum semua industri nasional siap atau butuh segera untuk mengadopsinya. Karena itu, implementasi industri 4.0 sebaiknya disesuaikan dengan karakteristik tiap industri di Indonesia.
"Sebenarnya, semua industri didorong untuk berkembang ke arah industri 4.0. Namun, penerapan akan lebih cepat ke industri yang padat modal karena biaya investasi untuk robotik, terutama otomatisasi itu memerlukan modal yang besar," kata Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, saat dihubungi Kompas, Kamis (7/2/2019).
Menurut Bhima, industri yang siap mengimplementasikan industri 4.0 adalah industri skala menengah dan besar. Sebab, industri tersebut sudah pasti padat modal serta memiliki bidang penelitian dan pengembangan sendiri. Artinya, pengembangan produk dan proses produksi dapat beradaptasi lebih cepat dengan teknologi 4.0.
"Dalam hal ini, pemerintah tinggal membantu saja. Misalnya, memberikan insentif pajak ketika pelaku industri mau melakukan inovasi baru. Bisa juga memberi kemudahan dengan tidak memperlambat proses hak paten terhadap produknya," papar Bhima.
Ada sejumlah penanda pokok dalam era industri 4.0, yaitu muncul dan berkembangnya sistem fisik-siber (cyber-physical systems) yang menyatukan dunia fisik, digital, dan biologis, the internet of things (IoT), cloud computing, dan cognitive computing. Industri 4.0 ini membawa sejumlah dampak disruptif—salah satu yang utama adalah lapangan kerja. (Kompas, 5 Maret 2018)
Menurut Bhima, yang menjadi tantangan saat ini adalah bagaimana menjamin industri skala kecil yang pada umumnya padat karya, tetap bisa bertahan dan terus berkembang. Menurutnya, untuk mendorong industri 2.0 dan 3.0 dapat mencapai 4.0, maka perlakuannya harus berbeda.
"Bagi industri yang posisinya masih 2.0 atau 3.0, maka yang dibutuhkan adalah bantuan infrastruktur dasar. Industri harus dipacu lebih inovatif, bisa dengan menciptakan sekolah vokasi yang terampil bagi sumber daya manusianya. Di era internet, pemerintah juga bisa membantu bagaimana mendorong mereka memasarkan produknya secara dalam jaringan (daring)," ujar Bhima.
Bhima menilai, sebenarnya tidak perlu dipertentangkan antara industri yang masih 2.0 atau 3.0 dengan 4.0. Sebab, perlakuannya berbeda dan mereka saling melengkapi. Industri 4.0 tetap membutuhkan bahan baku dari industri skala kecil. Artinya, ada saling keterkaitan.
Secara terpisah, Chief Executive Officer PT Imani Prima, Takwa Fuadi juga menyampaikan hal senada. Menurutnya, setiap industri memiliki karakteristik yang berbeda, maka yang diperlukan adalah pemahaman untuk mengetahui apakah tepat mengimplementasikan industri 4.0 bagi industri tersebut. Jadi tidak semua industri harus dipaksa untuk segera mengimplementasikan industri 4.0
"Saya menangkap ada kegalauan di kalangan para pelaku industri, ini karena ketidakpahaman. Mereka menganggap, industri 4.0 semacam kelas dari industri. Jadi mereka harus masuk ke sana, tanpa menilai kondisi industri mereka," ujar Takwa.
Setiap industri memiliki karakteristik yang berbeda, maka yang diperlukan adalah pemahaman untuk mengetahui tepat tidaknya mengimplementasikan industri 4.0 bagi industri tersebut
Takwa mencontohkan, bisa jadi industri 4.0 belum cocok diterapkan di industri garmen karena negeri ini masih membutuhkan penyerapan tenaga kerja yang besar. Sebab, kalau diotomatisasi secara langsung, tentu tenaga kerja berkurang. "Pemerintah harus menjamin, pada saat ada industri 4.0, maka tenaga kerja juga diserap, bukan hanya sekadar mencari keuntungan," paparnya.
Lain halnya dengan industri skala menengah dan besar yang padat modal. Meski demikian, Takwa mengingatkan, kita perlu interaksi yang cukup kuat dengan pemilik industri sehingga mereka betul-betul paham, sektor mana saja yang bisa dioptimatisasi agar menghemat energi, biaya produksi, dan bahan baku.
"Sebab, untuk mencapai industri 4.0, maka perlu juga memahami IoT. Seperti bagi pelaku industri kelapa sawit. Optimatisasi bisa dilakukan dengan memasang sensor di tanah yang akan memberi tahu bagaimana kondisi tanahnya, sehingga nanti yang punya kebun tahu kapan harus memberi pupuk atau memberi air," ujar Takwa.
Menurut Takwa, melalui IoT, pelaku industri dapat mengumpulkan banyak data sehingga keputusan lebih mudah diambil. Namun, semua kembali lagi kepada biaya. Pelaku industri harus paham, tetap ada perbandingan biaya dan keuntungan saat mengimplementasikan teknologi.
Takwa mengatakan, tujuan industri, mendapat keuntungan tetapi perlu keberlanjutan dan menyerap tenaga kerja di wilayah setempat. Maka, sosialisasi kepada para pelaku industri harus berjalan lebih baik supaya mereka paham bedanya industri satu dengan yang lain, serta industri mana yang perlu mengimplementasikan industri 4.0.
"Jangan sampai karena tidak paham lantas mengimplementasikan saja, padahal belum cocok dengan alam bisnisnya dan akhirnya malah menciptakan kerugian," tegas Takwa.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, pihaknya akan terus melakukan sosialisasi kepada seluruh pemangku kepentingan. Tujuannya agar siap para pelaku industri siap menghadapi dan memanfaatkan peluang tersebut.
Dalam siaran pers Kementerian Perindustrian pada 5 Februari 2019, Airlangga juga menyampaikan, untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, pihaknya membentuk Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Industri (BPSDMI). Ini termasuk strategi nasional Making Indonesia 4.0.
“Presiden Joko Widodo sudah menyampaikan bahwa setelah membangun infrastruktur, selanjutnya mengembangkan sumber daya manusia. Ini diprioritaskan dan dicerminkan dengan restrukturisasi di struktur kementerian guna mengakselerasi prioritas kinerja Kemenperin,” kata Airlangga.