RUU Permusikan Bisa Jadi Ancaman Baru Setelah UU ITE
JAKARTA, KOMPAS – Sejak Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik diundangkan 2008, Southeast Asia Freedom of Expression Network telah mencatat ada 381 korban yang dijerat UU ini hingga 31 Oktober 2018. Kini, muncul lagi RUU Permusikan yang mencemaskan para musisi serta pekerja musik karena mengandung pasal-pasal “karet” yang potensial mengekang kebebasan berekspresi seperti halnya UU ITE.
Gonjang-ganjing RUU Permusikan bersumber dari beredarnya draft RUU Permusikan tertanggal 15 Agustus 2018. Pasal-pasal di draft RUU yang kini masuk dalam daftar prioritas program legislasi nasional (prolegnas) DPR ini terdiri dari IX bab dan 54 pasal.
Pasal 5 adalah salah satu yang paling disoroti. Pasal itu berisi larangan bagi setiap orang dalam berkreasi untuk: (a) mendorong khalayak melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya; (b) memuat konten pornografi, kekerasan seksual, dan ekspoitasi anak; (c) memprovokasi pertentangan antarkelompok, antarsuku, antarras, dan/atau antargolongan; (d) menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai agama; (e) mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum; (f) membawa pengaruh negatif budaya asing; dan/atau (g) merendahkan harkat dan martabat manusia.
Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan yang terdiri dari 262 pemusik dan pekerja musik menilai Pasal 5 ini sangat multitafsir karena tidak ada standar ukuran yang jelas dalam menentukan poin a – g. Akibatnya, pasal tersebut sangat potensial dimanfaatkan sebagai alat untuk menjustifikasi atau membenarkan pendapat aparat atau pihak-pihak tertentu.
Pasal 5 berpotensi menjadi “pasal karet” karena memuat kata-kata yang multiinterpretasi, seperti “menista”, “melecehkan”, “menodai”, dan “memprovokasi”. Persis seperti dalam UU ITE, “pasal-pasal karet” semacam itu bisa jadi senjata bagi kelompok penguasa, atau siapa pun untuk mempersekusi proses kreasi yang tidak disukai. Bahkan, dalam pasal 50 ditegaskan, pelanggaran pasal 5 akan dikenakan sanksi pidana penjara atau denda.
Pasal 5 berpotensi menjadi “pasal karet” karena memuat kata-kata yang multiinterpretasi.
“Kalau jadi diundang-undangkan, Band Seringai mungkin akan jadi band pertama karena cukup vokal di liriknya. Jadi jangan sampai ini berlanjut,” kata Wendi Putranto, manajer Seringai, Senin (4/2/2019), di Jakarta.
Setidaknya ada 19 pasal dalam draft RUU Permusikan yang dianggap bermasalah. “Kami membedah pasal per pasal. Dan ternyata di bagian penjelasan, pasal-pasal itu lemah semua. Temuan itu kami serahkan ke Komisi X DPR sebagai daftar inventaris masalah untuk dikaji ulang,” kata Wendi.
Pasal 4, misalnya, menyebutkan pelaku musik adalah penulis lagu, penyanyi, penata musik, dan produser. Koalisi itu menganggap, penyebutan empat “pelaku musik” itu hanya mewakili industri musik yang mapan, dan tidak selalu terjadi di kancah musik independen.
Di kancah pemusik independen yang umumnya mengusung etos efisiensi kerja kreatif, keempat peran itu bisa dikerjakan sekaligus oleh kurang dari empat orang. “Referensi pembuatan RUU ini tidak paham dengan gerakan dan nafas kelompok pemusik bawah tanah,” kata penyanyi, gitaris, dan penulis lagu Endah Widiastuti.
Draft RUU Permusikan khususnya pasal 10 juga bermasalah karena meminggirkan musisi-musisi independen dengan tidak memberi ruang pada mereka untuk mendistribusikan karya secara mandiri. Menurut pasal itu, distribusi hanya dilakukan oleh label rekaman dan penyedia konten untuk produk musik digital. Tak hanya itu, pasal 12 juga mewajibkan distributor memiliki izin usaha.
Draft RUU Permusikan khususnya pasal 10 juga bermasalah karena meminggirkan musisi-musisi independen dengan tidak memberi ruang pada mereka untuk mendistribusikan karya secara mandiri.
Pasal 31 bahkan mengatur adanya uji kesetaraan bagi musisi otodidak agar bisa dihargai setara dengan musisi jalur pendidikan formal. Tentu saja usulan ini ditolak Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan karena ide uji keseteraan/uji kompetensi ini sangat mendiskriminasikan musisi otodidak.
Tidak perlu
Akademisi pemerhati musik Yuka D Narendra beranggapan RUU Permusikan tidak diperlukan. Menurutnya, beberapa poin terkait industri musik sudah diatur dalam UU hak cipta. “Itu saja dioptimalkan. Musisi sebagai pelaku industri tentu akan mengikuti aturan mainnya,”kata dia.
Selain itu, musik bagian dari obyek pemajuan kebudayaan, yaitu seni telah diatur dalam UU Pemajuan Kebudayaan. Yuka menilai, berbagai aturan di dalam draft RUU Permusikan yang cenderung mengekang kebebasan berekspresi justru berlawanan dengan UU Pemajuan Kebudayaan yang memberi ruang luas bagi ekspresi-ekspresi kebudayaan.
Musik bagian dari obyek pemajuan kebudayaan, yaitu seni telah diatur dalam UU Pemajuan Kebudayaan.
“UU Pemajuan kebudayaan justru mewajibkan siapapun mendukung upaya-upaya pemajuan kebudayaan. Negara menjamin, bukan membatasi. Draft RUU Permusikan justru kontradiktif dengan UU Pemajuan Kebudayaan,”paparnya.
Menerima masukan
Kritik keras terhadap RUU Permusikan disampaikan 262 pemusik dan pekerja musik yang bergabung dalam Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan, Minggu (3/2/2019) malam, koalisi itu menyatakan sikapnya dengan tegas untuk menolak RUU Permusikan gagasan Komisi X DPR.
Pemusik yang bergabung dalam koalisi itu, antara lain, Jason Ranti, Reda Gaudiamo, Bonita, Arian 13 (band Seringai), Eben (Burgerkill), Nikita Dompas (Tomorrow People Ensemble), Iga Massardi (Barasuara), Cholil Mahmud (Efek Rumah Kaca), Gede Robi Supriyanto (Navicula), Rico Prayitno (Mocca), Viki Vikranta (Kelompok Penerbang Roket), Mondo Gascaro, Iksan Skuter, dan Danilla Riyadi.
Para pekerja musik yang juga bergabung di koalisi itu, antara lain, Wendi Putranto (manajer band Seringai), Jason Ranti (penyanyi, pencipta lagu), Sukma Raya (produser, penata rekam), Felix Dass (pegiat pertunjukan musik), Samack (pegiat komunitas musik di Malang), Iit Sukmiati (pengecer produk musik di Bandung), Petrus Biyanto Adi (pengajar musik), Yuka D Narendra (penulis buku, akademisi), dan David Tarigan (arsiparis musik).
Anang Hermansyah, anggota Komisi X DPR, yang hadir di acara diskusi itu, berusaha tenang menanggapi berbagai sanggahan dan penolakan tersebut. “Kami butuh banyak masukkan. Sekarang ini masih berbentuk draf, dan prosesnya masih panjang,” kata dia.
Anang menyangkal bukan dialah yang merumuskan kalimat-kalimat di RUU tersebut, melainkan Pusat Perancangan Undang-undang Badan Keahlian DPR RI, yang dikepalai Inosentius Samsul. Samsul menyatakan menyusun naskah akademik berdasarkan permintaan, bisa dari fraksi, komisi, maupun individu.
“Kami tak pernah berfikir apa yang kami buat itu sempurna. Naskah akademik ini bukan suatu kebenaran. Silakan, kami membuka diri untuk berdiskusi dan perbaiki terus naskah ini. Proses (sebelum ditetapkan) masih panjang,” kata Samsul yang meninggalkan tempat sebelum acara rampung.
Penyanyi Glenn Fredly, dari Konferensi Musik Indonesia menyatakan tekadnya untuk mengawal penggodokan RUU itu. “Ini akan kami kawal bersama. Jangan lagi ada (musisi) yang merasa ditinggal. Jangan lagi ada yang merasa ini pertarungan antara musisi indie dan major. Kita punya problem yang sama, kok. Momen ini harus dipakai untuk bicarakan nasib dan masa depan musisi, bahwa ada sebuah profesi yang harus dibicarkan secara serius,” kata Glenn.