JAKARTA, KOMPAS — Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana atau mutual legal assistance antara Indonesia dan Swiss dinilai sebagai salah satu langkah maju dalam upaya pengembalian aset hasil korupsi atau tindak pidana ekonomi lain. Namun, ratifikasi perjanjian ini menjadi undang-undang tampaknya tidak dapat segera dilaksanakan.
Anggota Komisi III dari fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Arsul Sani mengatakan bola ratifikasi perjanjian ini berada di pemerintah. DPR saat ini menunggu pemerintah untuk menyampaikan usulan ratifikasi perjanjian ini ke DPR. Arsul memastikan, DPR mendukung ratifikasi perjanjian ini, sebab proses negosiasi untuk mencapai kesepakatan ini sudah berjalan selama kurang lebih dua tahun dan Komisi III juga ikut berkontribusi dalam proses-proses tersebut.
“Pada akhir tahun lalu, kami juga bertemu dengan Federal Ministry of Justice Swiss dan juga parlemen Swiss untuk mendorong (perjanjian MLA),” kata Arsul saat ditemui di kompleks parlemen, Senayan, Rabu (6/2/2019) di Jakarta.
Arsul berharap, MLA ini dapat membuka pintu kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Swiss dalam melakukan upaya-upaya penyelidikan, penyidikan, termasuk berbagai upaya paksa seperti pembekuan rekening. Terlebih lagi, menurut dia, dulu banyak uang hasil korupsi yang disimpan di perbankan atau lembaga keuangan Swiss. “Untuk itu, harus ada instrumen hukum ini yang bisa menjadi pintu bagi aparat penegak hukum untuk melacak di sana,” kata Arsul.
Pandangan serupa juga disampaikan Wakil Ketua Komisi III dari fraksi Partai Gerindra Desmond Junaidi Mahesa. Meski partainya berada di kubu oposisi, ia mendukung terciptanya perjanjian tersebut. Namun, ia akan mempelajari sebelum memulai proses ratifikasi perjanjian yang ditandangani oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan Menteri Kehakiman Swiss Karin Keller-Sutter pada Senin (4/2/2019) di Bern, Swiss.
Terlebih lagi, Komisi III DPR belum mendapat salinan dari pemerintah. “Nah detilnya belum. Ini masih versi pemerintah saja. Kami belum dapat drafnya atau dokumen apapun yang sudah ditandatangani itu,” kata Desmond.
Harapan meratifikasi perjanjian sesegera mungkin, bisa sulit terwujud. Anggota Komisi III dari fraksi Partai Gerindra Sufi Dasco Ahmad mengatakan, kesibukan anggota DPR jelang Pemilu 2019 ini memperkecil adanya ratifikasi. “Ya kami harus lihat-lihat dulu ‘lah, dipelajari. Tahun politik ini, takutnya enggak sempat lho,” kata Dasco.
Koordinator Indonesia Corruption Watch Adnan Topan Husodo menilai, penandatanganan MLA ini dapat dilihat sebagai langkah maju. Namun, menurutnya, masih perlu dievaluasi manfaat dari perjanjian ini bagi aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus korupsi. Khususnya pada aspek identifikasi aset dan kerja sama untuk membekukan serta mengembalikan aset ke Indonesia.
Adnan mengatakan, pembuatan MLA dengan Swiss dapat dipahami bahwa selama ini negara Eropa tersebut dianggap sebagai tempat menyimpan aset yang ilegal ataupun tidak dapat dipertaggungjawabkan. Namun, ia menilai, praktik ini sudah tidak lumrah.
“Bahwa praktik seperti ini sudah banyak berubah, tidak lagi bank-bank konvensional. (Uang hasil korupsi) ini sudah diubah menjadi berbagai bentuk, seperti saham atau shell companies, perusahaan cangkang yang ada di negara-negara suaka pajak,” kata Adnan.
Terlebih lagi, Adnan menilai, komitmen penegak hukum Indonesia dalam asset recovery atau pengembalian aset ini belum maksimal. Menurut dia, banyak hal yang dapat dilakukan dalam kerangka pengembalian aset namun belum dilakukan secara penuh. Contohnya adalah penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Dalam catatan ICW, Adnan mengatakan, bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi hanya menggunakan UU TPPU untuk 7 kasus dari 453 kasus korupsi yang terjadi selama 2018. “Kenapa penggunaan TPPU tidak diterapkan secara konsisten?” ujar Adnan.