JAKARTA, KOMPAS – Penggunaan alat penunjuk arah dengan global positioning system atau GPS melalui ponsel tetap tidak diperbolehkan saat berkendara. Aturan ini merujuk pada ketentuan pengendara bermotor wajib membawa kendaraan dengan wajar dan penuh konsentrasi. Meski begitu, peraturan ini masih menimbulkan polemik di tengah masyarakat.
Polemik ini muncul setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan atas gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Gugatan yang diajukan terkait penggunaan GPS di ponsel saat berkendara oleh komunitas Toyota Soluna dan pengemudi transportasi. Mereka merasa dirugikan dengan adanya aturan tersebut karena pekerjaannya sangat bergantung pada penggunaan GPS.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Driver Online Wiwit Sudarsono menyatakan akan menghormati keputusan MK tersebut. Namun, ia meminta aturan tersebut lebih spesifik menjelaskan penggunaan GPS seperti apa yang dilarang.
“Kami sadar bahwa penggunaan GPS yang tidak baik bisa membahayakan keselamatan, baik bagi pengemudi maupun penumpang. Namun, selama penggunaannya wajar seharusnya tidak perlu dipermasalahkan. Penggunaan GPS bagi pengemudi daring sudah menjadi kebutuhan, mulai dari mencari alamat penjemputan sampai menunjukkan jalan ke tempat tujuan,” katanya di Jakarta, Rabu (6/2/2019).
Ia mengatakan, UU 22/2009 belum menjelaskan secara rinci bentuk penggunaan GPS yang dilarang. Padahal, ada sejumlah mobil yang sudah memfasilitasi aplikasi GPS pada dasbor mobil. Selain itu, teknologi ini memang dibuat untuk memudahkan pengendara dalam mencari tujuan.
“Yang salah itu ketika pengemudi, terutama motor terus menerus melihat GPS sambil mengendarai kendaraannya. Keseimbangan bisa terganggu. Kami jelas mengedukasi anggota asosiasi untuk tidak melalukan ini. Namun bukan berarti penggunaan GPS harus dilarang sepenuhnya bagi pengendara,” ucap Wiwit.
Kami sadar bahwa penggunaan GPS yang tidak baik bisa membahayakan keselamatan. Namun, selama penggunaannya wajar seharusnya tidak perlu dipermasalahkan
Kepala Subdirektorat Penegakan Hukum Direktorat Lalu Lintas (Ditlantas) Polda Metro Jaya Kompol Herman Ruswandi menilai, keputusan MK yang menolak gugatan terkait penggunaan GPS saat berkendara perlu ditaati semua masyarakat. Hal ini sesuai dengan Pasal 106 UU 22 /2009 yang menyatakan setiap orang harus mengemudikan kendaraan dalam keadaan wajar dan penuh konsentrasi.
“Aturan ini jelas untuk melindungi pengguna kendaraan bermotor dari dampak buruk perilaku pengemudi yang terganggu konsentrasinya pada saat mengemudikan kendaraannya, ” ujarnya.
Pengamat transportasi Djoko Setijowarno berpendapat, sejumlah kejadian sudah membuktikan penggunaan GPS pada ponsel dapat menimbulkan kecelakan di jalanan. Pengemudi sebaiknya bisa menepi ketika akan melihat GPS. Jika memungkinkan, GPS juga bisa dibacakan oleh penumpang.
“Tingkat kebahayaan menggunakan GPS di jalan lebih tinggi daripada manfaatnya. Aturan ini sudah benar untuk melindungi masyarakat dalam berlalu lintas,” tuturnya.
Berdasarakan amanat PBB, aturan terhadap pelanggaran lalu lintas harus lebih ditegakkan mengingat Indonesia memiliki angka kejadian kecelakaan lalu lintas yang tinggi. Sejumlah pelanggaran yang dinilai dapat berakibat fatal bagi pengendara antara lain, tidak menggunakan helm, berkecepatan tinggi, pengendara di bawah umur, melawan arus, dan menggunakan ponsel saat berkendara.
Herman menyebutkan, pascakeputusan MK tersebut pihak kepolisian lalu lintas akan mulai menindak para pengendara yang masih menggunakan aplikasi GPS pada ponsel sambil mengendara. “Secara bertahap akan dilakukan pada pelanggar yang terlihat secara kasatmata. Sambil kami siapkan juga melalui E-Tle (sistem tilang elektronik),” katanya.
Merujuk pada Pasal 282 UU 22/2009, setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor secara tidak wajar dan tidak berkonsentrasi akan dipidana dengan kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak Rp 750.000.