BEKASI, KOMPAS – Pembebasan lahan untuk pembangunan depo kereta ringan atau light rapid transit (LRT) di Kabupaten Bekasi tak kunjung tuntas. Sejumlah kejanggalan yang muncul selama setahun terakhir mendorong warga untuk menuntut pemerintah ke jalur hukum.
“Februari ini kami akan mendaftarkan gugatan perdata terhadap Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bekasi,” kata Ketua Forum Komunikasi Kampung Jati Terbit Sondi Irwanto Silalahi di Bekasi, Rabu (6/2/2019). Gugatan didasarkan pada sejumlah kejanggalan selama proses pembebasan lahan untuk pembangunan depo LRT di Kelurahan Jatimulya, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi.
Sondi menambahkan, kejanggalan bermula dari tidak adanya konsultasi publik mengenai pembebasan lahan. Pada awal 2018, ihwal pembebasan lahan itu sudah disosialisasikan. Adapun areal yang akan dibebaskan meliputi wilayah RW 06, 07, dan 08.
Akan tetapi, warga tidak mengetahui luas lahan yang dibutuhkan untuk pembangunan dan jumlah warga yang terdampak hingga mereka berunjuk rasa di Kantor Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kabupaten Bekasi pada Oktober 2018. Informasi tersebut baru diberikan seusai mereka berunjuk rasa.
“Kami juga menduga, ada pihak yang ingin memanfaatkan lahan untuk kepentingan bisnis,” ujar Sondi. Pada awal 2018, muncul sertifikat hak guna bangunan (SHGB) atas nama PT Adhi Persada Properti, bagian dari PT Adhi Karya (Persero) Tbk pengembang proyek kereta ringan, terhadap beberapa bidang tanah di RW 06. Perusahaan tersebut juga mengundang warga setempat untuk menyosialisasikan rencana pembangunan hotel dan pembuatan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) terkait pembangunan tersebut.
Menurut Sondi, lahan yang akan dibangun itu merupakan bagian dari areal yang akan dibebaskan untuk pembangunan depo LRT. Sebab, warga yang menempatinya termasuk dalam undangan dalam sosialisasi pembebasan lahan pada awal 2018.
Penerbitan SHGB juga ia pertanyakan, sebab sejak 1980-an warga telah menempati lahan tersebut. Selama itu pula, tidak ada aktivitas apapun terkait perusahaan badan usaha milik negara (BUMN) itu. Warga hanya mengetahui, lahan tersebut ber-status quo atau milik negara. Izin menempatinya mereka dapatkan dari kepala desa pada 1990-an. Karena itu, mereka juga berkewajiban membayar pajak bumi dan bangunan (PBB).
Sondi menegaskan, warga tidak bermaksud menghambat pembebasan lahan untuk proyek strategis nasional. Mereka berharap mendapatkan penjelasan atas kejanggalan-kejanggalan yang terjadi.
Status tanah
Kepala Kantor ATR/BPN Kabupaten Bekasi Deni Santo menampik proses pembebasan lahan yang berlangsung tidak transparan. Menurut dia, sejumlah proses di antaranya konsultasi publik, sosialisasi, dan proses pembayaran pembebasan lahan telah dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Ia menjelaskan, lahan yang akan dibebaskan untuk pembangunan depo LRT di Jatimulya luasnya mencapai 10,5 hektare (ha) yang terdiri dari 191 bidang. Dari total lahan tersebut, sebagian merupakan tanah milik warga dan sebagian lagi milik negara. Namun, warga belum mengetahui jika lahan milik negara itu telah diserahkan kepada salah satu badan usaha milik negara (BUMN).
“Lahan milik negara itu sudah diserahkan kepada PT Adhi Karya melalui penyertaan modal negara (PMN),” ujar Deni. Oleh karena itu, status kepemilikan jatuh pada perusahaan. Adapun lahan itu terdiri dari enam bidang. Luasnya sekitar 50 persen dari total tanah yang akan dibebaskan untuk pembangunan depo.
Deni mengatakan, tanda bukti pembayaran surat pajak terhutang (SPT) PBB yang dimiliki warga tidak serta merta membuktikan bahwa warga adalah pemilik tanah. Kewajiban membayar PBB jatuh pada siapa saja yang menggunakan dan memanfaatkan tanah dan bangunan. Sejumlah warga pun mengakui bahwa mereka menempati tanah milik negara.
Meski demikian, warga tidak digusur secara semena-mena. “Berdasarkan UU No 2/2012, pihak penggarap tanah berhak mendapatkan ganti rugi pembebasan lahan untuk kepentingan umum,” kata dia.
Karena itu, ia berharap warga bersikap kooperatif. Sebab, sejumlah warga masih menolak pengukuran dan verifikasi tanah dan bangunan. “Dari total 191 bidang, baru 55 bidang yang sudah diverifikasi dan dibayar ganti ruginya,” kata Deni.
Ia menambahkan, pemerintah pusat menargetkan proses pembebasan lahan tuntas pada Maret 2019. Untuk itu, sejumlah satuan tugas ditempatkan di Jatimulya untuk memverifikasi ulang data warga terkait luas dan kepemilikan tanah selama 6-13 Februari.