PADANG, KOMPAS – Potensi besar berupa gempa bermagnitudo 8,9 di segmen Mentawai di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat yang kemungkinan besar diikuti tsunami, semakin menjadi perhatian. Berbagai kegiatan dan rencana terkait mitigasi bencana baik di Mentawai maupun di Sumatera Barat daratan terus didorong.
Hal itu mengemuka dalam Rapat Koordinasi Mitigasi dan Penanganan Gempa dan Tsunami di Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) di Padang, Rabu (6/2/2019). Hadir dalam rapat tersebut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen Doni Monardo, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, Gubernur Sumbar Irwan Prayitno dan wakilnya Nasrul Abit, serta pihak-pihak terkait lainnya termasuk pakar kebencanaan.
Menurut Doni, di segmen Mentawai, saat masih ini berlangsung pelepasan energi. Dalam lima hari terakhir sejak Sabtu (2/2/2019), menurut data BMKG, tercatat sudah ada 115 kali gempa. Dari seluruh kejadian gempa itu, ada dua yang berkekuatan magnitudo di atas 6 dan tiga lagi hampir bermagnitudo 6. Data BNPB, gempa mengakibatkan kerusakan bangunan yakni 1 puskemas, 11 unit rumah, dan 1 unit gereja, serta 1 mercusuar yang tidak terpakai.
“Lantas apa yang harus kita lakukan? Seluruh komponen masyarakat harus saling membantu dan melengkapi. Dalam kondisi damai seperti saat ini, kita tidak perlu khawatir berlebihan. Melainkan memerhatikan beberapa hal untuk mengurangi risiko bencana,” kata Doni.
Seluruh komponen masyarakat harus saling membantu dan melengkapi.
Doni menyebutkan, melarang masyarakat untuk membangun di kawasan pesisir memang sulit dilakukan. Oleh karena itu, yang bisa dilakukan adalah bagaimana mengingatkan masyarakat untuk lebih siap misalnya dengan memiliki bangunan tahan gempa, tahan air, atau evakuasi jika terjadi gempa kuat dalam waktu lama.
“Apalagi Padang adalah daerah dataran rendah. Jika tidak salah, ketinggian permukaan daratan di Kota Padang kurang dari 10 meter. Sehingga kalau ada gelombang yang tingginya lebih dari 10 meter, berarti air bisa masuk lebih dari 2,5 kilometer. Jadi, masyarakat yang tinggal sejauh 2,5 kilometer dari pantai harus diberitahu terkait hal ini,” kata Doni.
Selain itu, kata Doni, infrastruktur penting seperti Bandara Internasional Minangkabau harus mendapat perhatian khusus. Apalagi posisinya yang berada sangat dekat dengan kawasan pantai. Oleh karena itu, BNPB bersama pemerintah provinsi dalam waktu dekat akan membicarakan tentang vegetasi yang cocok untuk dibangun di pantai di dekat bandara dan kawasan pesisir Sumbar.
“Bandara Internasional Minangkabau bisa belajar dari Bandara Sendai di Jepang. Saat sejumlah tempat di Sendai hancur, bandara ini aman karena ada vegetasi,” kata Doni.
Tidak hanya bandara, tempat evakuasi sementara (shelter), bangunan-bangunan tinggi yang bisa menjadi shelter juga harus diperhatikan. Oleh karena itu, menurut Doni, pemerintah kabupaten kota harus memerhatikan agar izin mendirikan bangunan (IMB) juga menyesuaikan dengan hal itu.
Hal itu penting karena saat ini ada tujuh kabupaten kota di wilayah pesisir Sumbar yakni Kabupaten Pesisir Selatan, Kota Padang, Kota Pariaman, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Agam, Pasaman Barat, dan Kabupaten Kepulauan Mentawai. Menurut data BPBD Sumbar, di tujuh wilayah itu, ada sekitar satu juta warga Sumbar berpotensi terdampak Tsunami.
Khusus untuk Mentawai, Doni mengatakan akan memberi bantuan telpon satelit untuk seluruh kecamatan. Itu bertujuan untuk memperkuat jaringan telekomunikasi di sana. Apalagi Mentawai hingga saat ini masih terkendala akses komunikasi. Bantuan itu termasuk pemeliharaan.
“Selain itu, kami bersama BPBD akan melaksanakan sejumlah kegiatan terkait kesiapsiagaan, mengirimkan tenda dan jenset, termasuk mengkaji logistik yang sesuai kearifan lokal di sana misalnya makanan berbahan sagu,” kata Doni.
Walikota Padang Mahyeldi mengatakan, hampir dua pertiga atau sekitar 618.000 warga Padang tinggal di kawasan pesisir. Oleh karena itu, mitigasi menjadi salah satu perhatian mereka. Selain peningkatan kapasitas masyarakat,mereka juga melakukan pemeliharaan vegetasi dengan pengawasan dan pelarangan penebangan pohon di pinggir pantai.
Prioritas
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, dari hasil pemantauan dan analisis BMKG, saat ini ada delapan zona bahaya (gempabumi) di Indonesia yang perlu diwaspadai. Zona itu dinilai bahaya karena relatif jarang terjadi gempa bumi yang berarti energi yang tersimpan masih besar.
“Mentawai termasuk di dalamnya, bahkan dijadikan nomor satu. Terus terang, itu menjadi fokus prioritas pertama kami karena sudah saatnya pecah energinya sekitar tahun-tahun ini. Di Sulawesi juga masih banyak titik, tetapi sudah lepas,” kata Dwikorita.
Oleh karena itu, menurut Dwikorita, berbagai langkah terus disiapkan. Ia menjabarkan, langkah itu seperti edukasi dan mitigasi termasuk menyediakan peralatan.
“Untuk mengantisipasi Mentawai Megathrust, BMKG sudah memasang lebih dari 10 stasiun pengamat seismik di wilayah Sumbar. Selain itu, ada juga alat khusus untuk memonitoring muka laut dari Badan Informasi Geospasial. Di beberapa titik juga terdapat Warning Receiver Center yang terkoneksi dengan sirine di sepanjang pantai Sumbar,” kata Dwikorita.
Dwikorita menambahkan, mereka juga akan memasang 50 sensor sistem peringatan dini gempa bumi (EEWS) bekerjasama dengan salah satu lembaga di China. Sistem tersebut nantinya akan bekerja untuk menangkap gelombang primer (gelombang gempa yang tidak merusak) dan menjadi sumber informasi awal sebelum terjadi guncangan gempa.
“Jadi, dengan alat ini, masyarakat memiliki golden time antara 10 detik sampai 60 detik untuk menyiapkan diri sebelum guncangan terjadi. Termasuk juga mematikan sistem yang bisa membahayakan seperti listrik, gas, dan lainnya,” kata Dwikorita.
Terkait hal itu, Bupati Kepulauan Mentawai Yudas Sabaggalet mengatakan, masyarakat Mentawai memang sudah jauh lebih siap dan lebih sensitif. Setiap kali terjadi gempa, mereka sudah terbiasa evakuasi ke bukit.
“Sekarang, program yang kami lakukan memang mendorong agar masyarakat pindah ke tempat yang lebih tinggi. Sebagian sudah mulai pindah karena adanya program Trans Mentawai. Dari 53 desa, ada sekitar 26 desa di kawasan pesisir dan 10 yang paling rawan di Siberut Utara, Siberut Barat, dan Pagai Utara,” kata Yudas.