BANDAR LAMPUNG, KOMPAS – Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Rabu (06/02/2019), menjatuhkan vonis 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan penjara pada Muchlis Adjie, mantan Kepala Lembaga Permasyarakatan Kalianda, Lampung Selatan. Terdakwa terbukti bersalah menerima gratifiasi serta membantu narapidana mengendalikan peredaran narkoba dari dalam lembaga pemasyarakatan itu.
Persidangan yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Mansur dengan dua hakim anggota yakni Syahri Adamy dan Pastra Joseph. berlangsung selama sekitar tiga jam.
Majelis hakim menilai perbuatan terdakwa terbukti melanggar hukum karena membiarkan Marzuli, seorang narapidana mengendalikan peredaran narkoba dari dalam LP. Selain itu, terdakwa juga terbukti menerima gratifikasi dari Marzuli. Marzuli merupakan napi yang dihukum 8 tahun atas kasus narkoba.
Atas perbuatan itu, Muchlis dinilai terbukti melanggar Pasal 114 ayat (2) juncto pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Hukuman itu lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa penuntut umum Rosman Yusa yang meminta majelis hakim menghukum terdakwa dengan hukuman 20 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 8 bulan penjara.
Hal-hal yang meringankan terdakwa adalah terdakwa belum pernah dihukum, terdakwa mengakui perbuatannya, terdakwa telah menjadi PNS selama 30 tahun, serta terdakwa merupakan tulang punggung keluarga. Adapun hal yang memberatkan adalah karena terdakwa tidak mengindahkan program pemerintah yang gencar memberantas narkoba.
Dari fakta persidangan terungkap, Muchlis membiarkan Marzuli memegang telepon genggam serta berkomunikasi langsung dengan napi tersebut. Muchlis juga memberikan izin khusus bagi Marzuli untuk keluar LP. Tak hanya itu, dia juga terbukti menerima uang dari Marzuli berkisar Rp 2 juta – Rp 10 juta sebanyak lima kali selama kurun waktu Januari sampai April 2018. Uang diberikan dengan cara dimasukkan dalam amplop maupun ditransfer.
“Berdasarkan keterangan saksi di persidangan, terdakwa terbukti menerima gratifikasi baik secara langsung maupun tidak langsung,” ucap Mansur saat membacakan amar putusan.
Atas putusan itu, baik jaksa maupun kuasa hukum terdakwa menyatakan banding.
Farmauli Silalahi, kuasa hukum terdakwa menilai, putusan yang dijatuhkan pada terdakwa tidak berdasarkan fakta, tapi asumsi. Dia menjelaskan, saat penggerebekan, Muchlis sedang cuti dan berada di luar kota. Dia tidak terbukti mengetahui ada paket narkoba yang dimasukkan ke lapas.
Efek jera
Pengungkapan jaringan narkoba yang melibatkan Muchlis itu berawal dari penangkapan Brigadir Kepala Adi Setiawan (36) yang bertugas di Polres Lampung Selatan. Dia ditangkap oleh aparat dari Badan Narkotika Nasional Provinsi Lampung saat mengambil paket sabu dan ekstasi Minggu (6/5/2018), di Kalianda. Saat ditangkap, Adi bersama rekannya, Hendri Winata (28). Hendri tewas ditembak petugas karena melawan.
Dari situ, petugas mengetahui bahwa jaringan narkoba itu dikendalikan oleh Marzuli dari dalam LP Kalianda. BNNP lalu menangkap Muchlis dan Rechal Oksa Hariz, sipir di LP Kalianda, karena membantu jaringan narkoba memasukkan 2,78 kg sabu dan 4.000 butir pil ekstasi .
Pengamat Hukum dari Universitas Lampung Heni Siswanto menyayangkan ada oknum aparatur negara yang menyalahgunakan jabatannya untuk membantu tindak kriminalitas peredaran narkoba. Kasus ini menunjukkan bahwa peredaran narkoba juga melibatkan oknum sipir dan pejabat lapas.
Meski vonis lebih ringan daripada tuntutan, Heni menilai hukuman 15 tahun penjara yang dijatuhkan pada terdakwa Muchlis sudah cukup berat. Hukuman itu diharapkan dapat memberi pelajaran dan efek jera bagi pejabat lainnya yang melakukan tindakan yang sama.