Kisah Cina Udik Bertani demi Menjaga Penghidupan
Di tengah gencarnya alih fungsi lahan pertanian, sejumlah warga Cina Udik di Kabupaten Tangerang tetap bertahan di jalur tani. Bagi mereka, sawah bukan semata urusan pangan, melainkan menyangkut kehidupan.
Oen Kong Coan (74) tengah bersandar di beranda rumahnya di Kampung Cukanggalih, Desa Ciakar, Kecamatan Panongan, Kabupaten Tangerang, Rabu (6/2/2019). Puluhan ibu-ibu memasak dan membuat kue di dapur rumah. Kebetulan, hari ini ia memperingati satu tahun meninggalnya sang menantu, Cuan Nioh.
”Saya tidak setiap hari ke sawah. Badan sudah sakit begini. Sawah diolah anak saya, Agus (Cun How),” katanya.
Kong bercerita, sejak kecil ia tak pernah merantau. Rumah kebaya yang ia tempati saat ini merupakan rumah turun-temurun. Begitu juga halnya sawah yang saat ini digarap si sulung, Agus.
”Saya sejak kecil tahunya, ya, tani. Dari kecil sudah diajarkan ngangon kerbau,” katanya.
Kong mewarisi 4.000 meter persegi sawah dari orangtuanya. Kong satu-satunya yang bertahan sebagai petani dari enam bersaudara. Lima saudara lain tak melihat prospek dari pertanian.
”Dua saudara saya juga diwarisi 4.000 meter persegi sawah di Serpong dan belakang Perumahan Citra Raya. Itu saya juga yang menggarap,” ujarnya.
Suatu ketika, sebuah perusahaan pernah menawar sawahnya. Bahkan, ada pihak yang menakut-nakuti bahwa tanah di Kampung Cukanggalih tak layak ditanami padi. Sebagian warga Cina Udik di situ terpengaruh obrolan itu. Namun, Kong kekeh tak mau menjual.
”Sawah ini soal penghidupan. Kalau dijual, sama saja menjual kehidupan,” kata kakek dari sembilan cucu ini.
Dia melanjutkan, menjalani hidup sebagai petani harus setia terhadap kampung halaman. Oleh sebab itu, ia tak pernah kepikiran untuk merantau.
Dia menceritakan tetangganya yang memutuskan pindah dari Kampung Cukanggalih ke Cibubur, Jakarta Timur. Sawah ia jual. Tetangganya itu berharap mendapat perbaikan nasib di tempat tinggal baru.
”Di Cibubur hidupnya malah tambah nelangsa. Uang hasil jual sawah ia belikan rumah, sisanya habis buat makan. Dia mencoba berdagang, tetapi tidak laku,” kata Kong mengenang.
Kini, sawah dikelola oleh Agus. Pria yang kehilangan istri satu tahun lalu ini mengatakan, bertani memang tidak membuat kaya. Akan tetapi, ini cukup untuk menjamin kebutuhan makan keluarga.
Agus bercerita, sawah seluas 4.000 meter persegi itu menghasilkan sekitar 2 ton gabah. Hasil itu ia bagi pula kepada saudaranya yang lain.
”Kalau sedang kepepet, gabah saya bawa ke penggilingan untuk dijual,” kata Agus.
Berjarak tiga rumah dari rumah Kong, Oen Cong Wei (70) duduk bertopang dagu di beranda. Ia menatap hamparan sawah yang baru sebulan tanam.
”Di kampung ini, tinggal saya sama Kong yang menggarap sawah sendiri. Yang lain disewakan sama orang lain,” kata pria tiga anak dan enam cucu ini.
Cong pernah menjadi buruh pabrik tekstil di Jakarta Utara selama 17 tahun. Ketika mendapat informasi kedua orangtuanya sudah sepuh, ia memutuskan mengundurkan diri dari tempat kerjanya itu.
”Tak ada penyesalan ketika mengambil keputusan itu. Sawah sudah menjadi bagian dari hidup saya. Sejak kecil saya sudah terbiasa main lumpur,” katanya.
Tak ada penyesalan ketika mengambil keputusan itu. Sawah sudah menjadi bagian dari hidup saya. Sejak kecil saya sudah terbiasa main lumpur.
Pria yang kulitnya hitam legam ini menggarap 1 hektar sawah warisan orangtua. Sawah tersebut menghasilkan 6 ton gabah. Setiap tahun, ia panen dua kali.
”Ini sawah tadah hujan, makanya tidak bisa lebih dari dua kali panennya,” ujarnya.
Cong bercerita, puluhan tahun lalu, sawah adalah bagian yang tak terpisahkan bagi warga Cukanggalih. Lambat laun, jumlah sawah di kampung ini menyusut. Sebagian orang tergiur untuk menjual sawah kepada pengembang perumahan.
”Seingat saya, ada sekitar 400 hektar lahan berupa sawah dan kebun di Desa Ciakar yang dibeli itu,” ia menunjuk sebuah lokasi perumahan yang berbatasan dengan sawah warga.
Cong pun pernah ditawari oleh perusahaan penambang pasir untuk menjual sawahnya. Ia menolak.
”Saya ini orang bodoh. Dapat uang ratusan juta dari jual sawah, lantas uangnya habis, lalu saya harus makan apa?” katanya.
Pemerhati dan budayawan China, Oey Tjin Eng, menyatakan, Cina Udik merujuk kepada keturunan Tionghoa yang tinggal di perkampungan, termasuk di Kabupaten Tangerang. Mereka tersebar di sejumlah wilayah, antara lain Panongan, Curug, dan Legok.
Menurut Eng, Cina Udik punya kebiasaan mewarisi pekerjaan orangtua. Hal itu bertujuan untuk merawat tradisi keluarga agar tak terputus.
”Misalnya, ada yang orangtuanya petani. Setidaknya, ada satu anak yang mewarisi pekerjaan tersebut,” kata Eng.
Dalam Kabupaten Tangerang dalam Angka 2018 disebutkan, jumlah penduduk di kawasan ini 3,58 juta orang. Sebanyak 116.758 jiwa bekerja di bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan, dan perikanan. Adapun luas area sawah hanya 36.193 hektar.
Kong dan Cong yang setia bercocok tanam patut diapresiasi. Sebab, luas baku sawah di Indonesia terus menyusut.
Dalam kurun 2013-2018, Indonesia kehilangan 645.855 hektar sawah. Itu diakibatkan oleh pembangunan infrastruktur dan industri. Berdasarkan data Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, luas baku sawah pada 2013 tercatat 7,75 juta hektar. Namun, hasil penghitungan terbaru menunjukkan luasnya berkurang menjadi 7,105 juta hektar.
Kong dan Cong adalah bagian dari petani Indonesia yang menjadi saka guru persawahan nasional. Tentu kita berharap, sawah yang tersisa sekarang masih ditanami padi, bukan beton bertulang. (INSAN ALFAJRI)