Ketua Umum PBNU: Pertemuan Al-Azhar dan Vatikan Perkuat Kebersamaan
Oleh
Antonius Ponco Anggoro
·3 menit baca
Al-Azhar, lembaga Islam berpengaruh di dunia, dan Vatikan mencetak sejarah penting. Ini setelah Imam Besar Al-Azhar Sheikh Ahmed al-Tayeb dan Paus Fransiskus menandatangani dokumen bersejarah tentang persaudaraan manusia untuk perdamaian dunia dan hidup berdampingan guna menangkal radikalisme serta terorisme, Senin (4/2/2019).
Dari Tanah Air, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj menyambut baik pertemuan itu. Berikut petikan wawancara Kompas dengan Aqil Siroj, termasuk bagaimana agar pesan yang disampaikan kedua tokoh tersebut bisa mempererat relasi antaragama di Indonesia.
Apa makna dari pertemuan Al-Azhar dan Vatikan?
Pertemuan itu merupakan momen yang sangat bersejarah. Kedua belah pihak yang mewakili dua agama besar tersebut memberi teladan bagi umatnya untuk kembali kepada bibit kebersamaan.
Ada tertulis Ilaa Kalimatin Sawaa’ yang mengajak para penganut agama samawi kembali menghidupi semangat kebersamaan sebagai sesama anak Ibrahim.
Sejarah mencatat, sudah berkali-kali agama dijadikan alasan berperang. Perang Salib adalah salah satu contoh ketika agama digunakan untuk membungkus motif perang sesungguhnya, yaitu nafsu berkuasa.
Sudah cukup dan jangan lagi menggunakan agama sebagai tangga menuju kekuasaan politik. Tidak ada yang namanya perang suci, semua jenis perang itu kotor.
Agama diturunkan untuk menata kehidupan manusia agar lebih harmonis. Melalui para nabi, Tuhan mengetuk hati nurani manusia untuk bersama-sama mewujudkan kedamaian demi hidup yang lebih sejahtera.
Bagaimana membumikan makna pertemuan itu di Indonesia secara konkret?
Semangat keberagaman harus dibangun dari institusi terkecil, contohnya masjid di perkampungan. Bagi NU (Nahdlatul Ulama), hal ini sudah diupayakan sejak sebelum Indonesia terbentuk.
Para kiai NU yang hidup di kampung sejak dulu telah berusaha menanamkan semangat kebersamaan itu. Mereka mendorong warga mengutamakan terwujudnya kerukunan dan semangat tolong-menolong tanpa memandang bulu.
Para kiai yang membaktikan hidupnya di desa-desa kecil pelosok Indonesia itu menjaga warga NU terbebas dari radikalisme. Tidak ada pesantren NU yang mengajarkan radikalisme. Tidak ada satu pun santri NU yang terlibat tindak terorisme.
Kami selalu percaya, budaya memainkan peranan penting dalam konteks melawan radikalisme. Jati diri kita sebagai orang Indonesia jangan sampai tergerus budaya luar.
Silakan cari ilmu ke Barat. Tirulah cara mereka menerapkan teknologi untuk meningkatkan kesejahteraan warga, bukan meniru cara mereka berpakaian.
Silakan cari ilmu ke Timur Tengah. Saat pulang nanti jangan hanya bawa jenggot dan gamis, tetapi seraplah ilmu agama mereka dengan sungguh-sungguh.
Bagaimana memanfaatkan pertemuan itu untuk merawat semangat persatuan dan melawan radikalisme?
Kita ini punya jati diri dan nilai khusus sebagai orang Indonesia. Iman dan nasionalisme harus dihidupi secara seimbang agar tak terusik paham radikal.
Oleh karena itu, pemahaman agama yang baik diperlukan. Ayat perang jangan digunakan sebagai dasar bertindak pada saat masa damai. Bacalah secara utuh, ada sangat banyak ayat perdamaian yang tertulis di Al Quran.
Gus Dur telah memberi contoh menghargai perbedaan saat mengizinkan warga Tionghoa merayakan Imlek secara terbuka. Dalam budaya NU, pemahaman soal toleransi itu sudah mapan. Dari struktur ranting sampai pusat tidak akan pernah terusik.
Di tahun politik ini, agama menjadi alat yang paling mudah digunakan membakar emosi masyarakat. Padahal, di dalam Al Quran disebutkan, tidak ada kezaliman yang lebih besar daripada melakukan kekerasan dalam mengatasnamakan Islam. (PANDU WIYOGA)