JAKARTA, KOMPAS - Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir melihat bahwa Indonesia telah memiliki akar budaya toleransi yang kaya. Namun, toleransi perlu dikembangkan di ruang publik seiring dengan tumbuhnya pemahaman agama dan faktor politik yang mengeras kerena radikalisme.
Hal demikian bisa dilakukan dengan memaknai dan mengadaptasi pertemuan antara Pemimpin Gereja Katolik Paus Fransiskus dengan Imam Besar Al-Azhar Syeikh Ahmed al-Tayeb, di Uni Emirat Arab (UAE), Senin (4/2/2019). Pertemuan, yang membuat UEA disebut sebagai negara pusat toleransi, menghasilkan dokumen persaudaraan manusia atau Deklarasi Abu Dhabi.
Dokumen persaudaraan manusia tersebut, antara lain berisikan, seruan agar pemimpin dunia, pemegang keputusan politik, dan ekonomi internasional agar bekerja keras menyebarkan budaya hidup berdampingan secara damai dan toleran. Ini dibuat atas keprihatinan terhadap merosotnya etika, nilai spiritualisme, dan tanggung jawab sehingga terjadi sikap kecewa, putus asa, pengisolasian diri, ateis, dan radikal.
Menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, penandatanganan deklarasi yang mewakili umat Islam dan Katolik tersebut, menegaskan kemauan dan keyakinan bahwa seluruh umat beragama dapat hidup damai dan bekerja sama demi tegaknya peradaban dunia. Berikut wawancara lengkap dengan Haedar, pada Rabu sore (6/2/2019).
Apa makna pertemuan Imam BesarAl-Azhar dengan Paus dalam menjaga hubungan antaragama?
Toleransi harus dimulai dari kemauan bertemu secara tulus, serta dengan kesamaan pandangan dalam mengembangkan sikap keagamaan yang saling menghormati dan bekerjasama dalam perbedaan.
Apa dampak penetapan Uni Emirat Arab sebagai kawasan pusat toleransi?
Setiap memulai sesuatu tentu tidak akan serta merta berdampak luas. Tetapi, UEA telah meletakkan tonggak toleransi beragama yang cukup berani di Timur Tengah. Kawasan pusat toleransi menjadi awal dan pangkal mendobrak kebekuan untuk mengembangkan kesadaran baru hidup berdampingan secara damai dalam beragama.
Bagaimana membumikan pertemuan itu ke Indonesia?
Indonesia sebenarnya memiliki akar kuat dan pengalaman cukup kaya dalam budaya toleransi. Kini, kita hanya perlu memperluas dan mengembangkan zona toleransi ke berbagai ruang publik. Sekaligus juga, mengembangkan model-model resolusi konflik yang lebih bervariasi.
Rusaknya toleransi di negeri ini karena tumbuhnya paham \'keras\' dan faktor politik yang sama mengerasnya. Tapi kekuatan moderat jauh lebih besar, tinggal memobilisasinya secara lebih meluas agar kekuatan tengahan (moderat) menjadi lebih dominan di ruang publik.
Bagaimana cara merawat persatuan dan melawan radikalisme yang kian mengancam?
Negara harus memiliki peta-jalan yang jelas dan lengkap dalam menghadapi radikalisme, tidak parsial dan dengan jalan pendek. Ini harus didialogkan dengan kekuatan-kekuatan moderat untuk menyamakan pemikiran dan langkah strategis menghadapi radikalisme. (ERIKA KURNIA)