Kasus Limbah Sawit Kalteng, Saksi Pastikan Adanya Uang Suap
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Windy Kurniawan, sekretaris dari salah satu pejabat Sinar Mas yang menjadi terdakwa dalam kasus dugaan suap limbah sawit ke sejumlah anggota DPRD Kalimantan Tengah, tidak mengetahui adanya penggunaan kode tertentu untuk menyamarkan uang suap sebesar Rp 240 juta. Meski demikian, dia tak membantah adanya uang suap itu.
Ini diungkapkannya saat menjadi saksi untuk tiga terdakwa kasus dugaan suap limbah sawit kepada sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Tengah, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (6/2/2019).
Ketiga terdakwa itu, Direktur Operasional Sinar Mas Wilayah Kalimantan Tengah/CEO PT Binasawit Abadi Pratama (BAP) Willy Agung Adipradhana, Manajer Legal PT BAP Teguh Dudy Syamsuri, dan Direktur PT BAP/Wakil Direktur PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART) Edy Saputra Suradja. Windy merupakan sekretaris dari Edy Saputra.
Sebelum bertanya kepada Windy, jaksa KPK sempat menunjukkan bukti rekaman percakapan antara Willy dan Windy. Di antaranya ada kata Alquran. Jaksa KPK pun menanyakan kata itu kepada Windy. Sebab jaksa menduga kata itu merupakan kode untuk menyamarkan pemberian suap.
Namun Windy membantahnya. Dia justru mendengar bukan kata Alquran yang keluar dari mulut Willy melainkan kata aturan.
"Pak Edy info ke saya sebelumnya, mengenai pak Willy yang akan mengaturkan, jadi saya dengarnya aturan," kata Windy.
Dia melanjutkan, uang itu nantinya akan diteruskan ke Tirra Anastasia Kemur, sekretaris dari Teguh Dudy Syamsuri.
Selanjutnya, uang itu akan diserahkan Tirra ke anggota Komisi B DPRD Kalimantan Tengah, Edy Rosada dan Arisavanah.
"Aturan yang akan mengatur kan Pak Willy. Yang saya tahu, Pak Willy atur dengan Tirra, jadi kalau memang sudah diatur saya akan berikan uangnya ke Tirra," ujar Windy.
Windy mengatakan, bila terselip kata Alquran, menurutnya, itu merupakan salah satu program Corporate Social Responsibility (CSR) PT BAP. "Kita sudah melaksanakan waktu Bulan Juni pemesanan Alquran. Lalu, pada Agustus kita sudah mendistribusikan ke masjid di sekitar kebun dan pabrik," ujar Windy.
“Saya tidak mendengarnya sebagai Alquran, tapi yang saya dengar adalah aturan,” ujar Windy.
Meski demikian, dia tidak membantah percakapannya dengan Willy yang rekamannya dibuka oleh KPK tersebut, membahas seputar pencairan uang suap Rp 240 juta.
Seperti diketahui, ketiga pejabat Sinar Mas itu didakwa menyuap empat anggota Komisi B DPRD Kalimantan Tengah sebesar Rp 240 juta. Uang tersebut diberikan agar DPRD dalam melakukan fungsi pengawasan tidak melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait dugaan pencemaran limbah sawit di Danau Sembuluh Kabupaten Seruyan Propinsi Kalimantan Tengah.
Sebelum tindak pidana korupsi itu diduga terjadi, dalam Rapat Paripurna DPRD Kalimantan Tengah, diperoleh informasi dari laporan anggota DPRD yang berasal dari Dapil II Kalimantan Tengah yaitu Kabupaten Kota Waringin Timur dan Kabupaten Seruyan serta adanya pemberitaan di media massa mengenai tujuh perusahaan sawit yang diduga mencemari Danau Sembuluh, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah. Salah satu diantaranya adalah PT BAP.
Laporan lalu dibahas di Badan Musyawarah (Bamus) DPRD Kalimantan Tengah. Kemudian Bamus menghasilkan kesepakatan untuk melakukan pengawasan melalui Komisi B yang membidangi perekonomian dan sumber daya alam.
Penyuapan uang diduga agar Komisi B tidak membahas ketiadaan izin Hak Guna Usaha (HGU), Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPH), dan belum adanya plasma yang dilakukan oleh PT BAP.
Selain meminta keterangan Windy Kurniawan, ada tujuh orang lain yang dipanggil sebagai saksi dalam sidang tersebut. Ketujuhnya adalah karyawan PT BAP dan PT SMART.
Perbuatan Willy, Dudy, dan Edy didakwa melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (MELATI MEWANGI)