Kedengarannya anatematik: membahas air baku kebutuhan warga di saat situasi politik sedang hangat. Namun, pekerjaan rumah bukan hanya soal politik.
Diakui bahwa air yang tercemar bakteri E coli memang bukan isu arus utama. Namun, sebagaimana polusi udara, itu tetap isu yang patut kita dengar dan kita respons.
Inilah lebih kurang maksud harian ini ketika menurunkan laporan tentang tercemarnya air baku Tarum Barat yang menjadi sumber air bersih bagi Jakarta dan sebagian Bekasi, Senin (4/2/2019) dan Rabu (6/2) kemarin.
Laporan dibuka dengan nada ironi bahwa ketika ada kompetisi global (dalam berbagai bidang, termasuk kompetisi kemajuan kota-kota modern), Jakarta masih bergulat dengan masalah dasar, seperti penyediaan air bersih.
Pertama diangkat bahwa tingkat pencemaran air di Saluran Tarum Barat atau Kali Malang jauh di atas ambang batas yang ditetapkan pemerintah. Sekadar menyebut data, dua kali pengambilan sampel oleh Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta pada tahun 2018 mendapati konsentrasi bakteri E coli tinja mencapai 390.000 jumlah sel (jml)/100 mililiter (ml) air dan satunya 1 juta jml/100 ml air. Sementara yang ditetapkan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta 1.000 jml/100 ml.
Ini berarti kondisi baku mutu yang ada di lapangan jauh di atas ambang batas yang ditetapkan pemerintah. Ini semestinya menjadi kerisauan otoritas mengingat air Kali Malang menjadi tumpuan utama warga Jakarta. Pada tahun 2018, pasokan air baku dari Kali Malang sebanyak 532 juta meter kubik dikelola operator swasta PT Aetra dan 193 juta meter kubik dikelola oleh PT Palyja. Disebutkan, Jakarta masih kekurangan pasokan air baku sekitar 536 juta meter kubik.
Akibat air baku buruk ini, produksi air yang layak dikonsumsi jadi lebih mahal dan waktu prosesnya lebih lama.
Hal lain yang juga patut menjadi bahan perhatian adalah akar persoalan masih berasal dari rendahnya kesadaran warga untuk menjaga kebersihan Kali Malang. Ada warga yang menjadikan sungai untuk mandi, mencuci, dan juga sebagai kakus. Semua itu sudah cukup untuk menggambarkan bagaimana limbah domestik mencemari Kali Malang.
Selain menjadikan sebagai bagian dari kehidupan selama ini, kalaupun ada kesadaran untuk berubah, soalnya tidak semudah itu. Bantuan tempat mandi, cuci, kakus (MCK) komunal tidak pernah mampir di desa-desa sekitar Tarum Barat. Ada warga yang mengaku, pihaknya sudah lama minta MCK kepada pemerintah, tetapi tidak pernah ada realisasi. Permintaan juga sudah disampaikan kepada calon anggota legislatif, tetapi sejauh ini juga tidak ada respons.
Kita tegaskan bahwa mencemari sungai tetap merupakan tindakan buruk. Pada sisi lain, warga juga tak punya banyak pilihan. Jadi, solusi harus mencakup dua sisi. Pertama, literasi kepada warga tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, termasuk sungai. Kedua, pemerintah setempat juga tanggap terhadap kebutuhan MCK warga sehingga warga bisa menjalankan aktivitas hariannya dengan layak dan benar.