KUTACANE, KOMPAS — Perambahan di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser di Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh, masih berlangsung. Perambahan dilakukan warga sekitar kawasan yang juga bertani untuk membuka lahan perkebunan. Pantauan Kompas pada Senin (4/2/2019) dan Selasa (5/2/2019), perambahan dilakukan terang-terangan.
Salah satu lokasi yang ditangani Kompas adalah kawasan yang berbatasan dengan Desa Batu Hamparan, Kecamatan Lawe Alas. Dari pusat ibu kota Aceh Tenggara, Kutacane, hanya butuh waktu sekitar 1 jam untuk tiba di batas taman nasional dengan perkampungan. Sebuah jalan tanah yang menanjak menjadi jalur utama bagi warga untuk masuk ke dalam kawasan taman nasional itu.
Kompas menyusuri jalan kecil itu menggunakan sepeda motor trail. Butuh waktu sekitar 45 menit untuk mencapai titik tujuan yang ditargetkan. Di sepanjang perjalanan, Kompas menjumpai lahan yang dirambah dan berpapasan dengan petani.
Saat tiba di sana, lima petani terlihat sedang membersihkan lahan. Mereka menebas batang kayu kecil dan semak belukar. Ratusan batang kayu bulat yang telah ditebang bergelimpangan. Batang pohon itu ditebang menggunakan gergaji mesin. Beberapa pohon yang telah ditebang itu memiliki ukuran keliling hingga 2 meter. Padahal, butuh waktu puluhan tahun agar pohon tumbuh sebesar itu.
Salah satu petani, HM, yang ditemui di lokasi mengatakan, pembersihan lahan mulai dilakukan sejak Agustus 2018. Setiap petani membuka lahan 1-2 hektar. Kini, luas area yang telah dibuka sekitar 30 hektar. Menurut rencana, kawasan itu akan dijadikan lahan perkebunan jagung.
”Saya tidak punya lahan lain, makanya membuka di dalam taman nasional,” kata HM. Ia tahu membuka lahan di dalam taman nasional perbuatan menyalahi aturan. Namun, karena tidak memiliki lahan di luar kawasan, dia tetap nekat merambah. Beberapa kali petugas dari Balai Badan Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) meminta perambahan dihentikan, tetapi petani tetap membuka lahan.
Petani lain, KD, mengaku telah menggarap lahan di dalam taman nasional sejak beberapa tahun lalu. Di lahan seluas 3 hektar, dia menanam jagung, cabai, dan palawija lain. Dia tinggal berhari-hari di pondok kayu yang dibangun di tengah kebunnya. ”Petugas sering datang, mereka bilang jangan dibuka lagi, cukup yang ini saja,” katanya.
Kepala Bidang Pengelola Taman Nasional Wilayah II, meliputi Aceh Tenggara dan Gayo Lues, Karyadi saat ditemui di kantornya mengakui, perambahan taman nasional masih terjadi. Pada 2018 mereka menemukan 78 kasus perambahan. Namun, berapa luasan yang dirambah masih dihitung.
Karyadi mengatakan, pelaku perambahan adalah warga sekitar kawasan untuk membuka lahan perkebunan. ”Tantangan terbesar bagaimana menyadarkan warga bahwa merusak hutan berakibat buruk bagi mereka,” katanya.
Karyadi menambahkan, terhadap perambahan yang sedang terjadi di lokasi yang dikunjungi Kompas, pihaknya beberapa kali mengingatkan warga supaya menghentikan. Jika tidak digubris, penertiban akan dilakukan.
Selama ini petugas rutin melakukan patroli untuk mencegah perambahan. Jika ditemukan perambahan, petugas meminta warga untuk keluar dari dalam kawasan. Kata Karyadi, pihaknya masih mengedepankan pendekatan persuasif, sedangkan penegakan hukum menjadi pilihan terakhir.
TNGL di Aceh 625.115 hektar terletak di empat kabupaten, yakni Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Selatan, dan Aceh Barat Daya. Wilayah pengelolaan dibagi dua, seluas 143.836 di bawah Bidang Pengelola Wilayah I (Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya) dan seluas 481.279 hektar berada di bawah Bidang Pengelola Wilayah II (Aceh Tenggara dan Gayo Lues).
Karyadi mengatakan, untuk menjaga 481.279 hektar dengan jumlah petugas 72 orang tidaklah mudah. Oleh sebab itu, pelibatan warga dan membangun kesadaran menjaga hutan menjadi strategi yang dijalankan.
Manager Geographic Information System Yayasan Hutan Alam Lingkungan Aceh Agung Dwinurcahya mengatakan, pada 2018, TNGL kehilangan tutupan hutan seluas 807 hektar. ”Perambahan dan illegal logging (pembalakan liar) menjadi penyebab utama deforestasi di sana,” katanya.