SUMENEP, KOMPAS – Hukum menjamin keberlangsungan kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Berbagai persoalan terkait dengan konflik hingga ancaman perpecahan dimulai dari pengabaian dan pelanggaran terhadap hukum. Untuk itu, jika ingin tetap berdaulat, penegakan hukum harus selalu diwujudkan dan menjadi bagian penting dalam kehidupan bangsa dan negara.
Ketua Gerakan Suluh Kebangsaan Prof Mohammad Mahfud MD mengatakan, penghancuran negara terjadi akibat empat tahap perusakan hukum. Pertama, disorientasi misalnya aparat penegak hukum membiarkan pelanggaran sehingga kian banyak pelabrakan terhadap hukum. Selain itu, pemberian sanksi amat rendah karena aparatur menerima ‘suap’ sehingga menyakiti rasa keadilan publik. Kedua, disorientasi berlanjut ke distrust atau hilangnya kepercayaan terhadap aparatur dan hukum itu sendiri. Misalnya, segala kebijakan, tindakan, dan keputusan aparatur tidak diindahkan atau diprotes oleh publik karena aparatur diyakini kena suap.
“Ketiga, disobedient atau tidak taat atau pembangkangan,” ujar Mahfud dalam Sarasehan Kebangsaan Mengembangkan Toleransi Ala Masyarakat Madura, Senin (4/2/2019), di Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika), Sumenep, Pulau Madura, Jawa Timur.
Sarasehan merupakan seri ketujuh dari rencana 50 kegiatan serupa di kabupaten/kota terpilih di Indonesia oleh Gerakan Suluh Kebangsaan (GSK) untuk mendorong dan memelihara sikap toleransi antarwarga. Sarasehan mengundang paling banyak 50 orang yang dianggap sebagai tokoh (suluh) untuk kemudian diharapkan memberi penerangan lanjutan kepada publik (pengikut) tentang pentingnya menjaga toleransi sekaligus persatuan dan kesatuan bangsa dan negara.
Mahfud melanjutkan, pembangkangan atau perlawanan mengakibatkan banyak peristiwa konflik akan muncul. Aparatur yang tidak dipercaya menjadi korban serangan atau pengadilan jalanan. Kehidupan tidak tertib dan dipenuhi teror. Akibat selanjutnya atau yang keempat adalah disintegrasi atau perpecahan. Karena hukum sudah runtuh dan kehidupan tidak tertib, berbagai daerah kemudian memproklamasikan kemerdekaan demi mengupayakan kehidupannya yang lebih baik. “Janganlah hukum dibolak-balik, ditafsir sembarangan untuk kepentingan politik sesaat,” katanya.
Untuk itu, GSK memandang perlu terus menggaungkan pentingnya toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Madura menjadi salah satu contoh yang masyarakatnya berkarakter toleran. Memang kehidupan toleransi di Madura sempat tercoreng peristiwa penyerangan kalangan umat Syiah di Sampang. Selain itu, berbagai peristiwa carok atau tradisi lainnya yang mengedepankan penyelesaian masalah dengan konflik atau pertarungan berdarah.
Namun, hal-hal tadi tidak menjadi karakter atau watak utama orang Madura. Justru, menurut pujangga Madura, KH Zawawi Imron, orang Madura halus, amat taat beribadah, dan menghormati pemuka agama (kiai). Jejak toleransi sudah ada beratus-ratus tahun silam. Orang Madura terlibat dalam perjuangan Raden Wijaya memerangi tentara Tartar utusan Kaisar Kubilai Khan dari Mongolia serta mendirikan Kerajaan Majapahit. Sejak berabad-abad pula, di Madura sudah ada komunitas bangsa lain terutama Tionghoa dan Arab yang berakulturasi dengan kehidupan masyarakat tradisional.
“Tanah Air kita indah bahkan kehidupan masyarakatnya. Untuk mengurus yang indah diperlukan kepemimpinan dengan akhlak dan hati yang indah,” kata Zawawi. Toleransi juga merupakan karakter bangsa Indonesia. Jika tidak toleran, maka Soempah Pemoeda 1928 bahkan berbagai pertempuran untuk meraih kemerdekaan tidak akan terjadi. Berbagai peristiwa yang menyertai perjalanan bangsa untuk merdeka merupakan bukti bahwa dalam perbedaan dan keberagaman ada keinginan bersama (toleransi) untuk menjadi Indonesia.
Mantan Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Prof Abd A’la menambahkan, patut diwaspadai dan segera diatasi sejumlah upaya memecah belah kehidupan masyarakat. Antarumat beragama diadu domba dengan doktrin keagamaan yang keras. Antarkelompok pun diadu karena mengedepankan berbagai perbedaan. Padahal, perbedaan merupakan keniscayaan. Keberagaman ingin hidup secara bersama dalam rumah besar NKRI.
Mantan Khatib Aam Syuriah PBNU Prof KH Abdul Malik Madani mengatakan, dalam perjalanan umat Islam di dunia ada berbagai versi pemerintahan yang dianut. Itu membuktikan bahwa umat Islam bebas memilih sistem pemerintahan yang disepakati secara bersama. Di Indonesia, umat Islam menyepakati dan menerima NKRI sebagai bentuk negara serta Pancasila sebagai dasar negara. Keinginan untuk mengubah sistem pemerintahan bahkan dasar negara menunjukkan intoleransi.
Tatik Hidayati, dosen Instika, dalam sarasehan menyumbangkan pendapat bahwa di Madura perempuan memiliki peran amat penting dalam kehidupan sosial dan keagamaan. Dalam seminggu, boleh jadi perempuan Madura mengikuti lima-tujuh kegiatan kumpulan agar lebih berdaya. “Sayangnya, kaum kami masih kerap digunakan untuk kepentingan politik sesaat. Suara kaum perempuan hanya didengar ketika ada kontestasi tetapi kemudian diabaikan,” katanya.