Tionghoa: Dialektika Sebuah Identitas
Aktualisasi simbol-simbol identitas mewarnai perubahan dalam masyarakat Indonesia sekarang ini. Di tengah menguatnya persoalan identitas, perubahan yang terjadi pada etnis Tionghoa atau warga negara Indonesia keturunan Cina menarik dikemukakan sebagai gambaran dinamika sosial yang terjadi dalam hubungan antar-etnis. Bagaimana posisi kelompok etnis Tionghoa dalam masa transisi demokrasi sekarang?
SETELAH meledaknya kerusuhan Mei 1998, pemerintah yang merasa turut bertanggung jawab atas kejadian itu kemudian memberi bermacam- macam kelonggaran. Bersamaan dengan bangkitnya tuntutan reformasi, mereka juga mulai merasakan kebebasan baik memilih maupun mendirikan partai.
Pengajaran dan kursus-kursus bahasa Mandarin juga diberi peluang oleh pemerintah. Kesenian Barongsai yang sekian lama terlelap tiba-tiba sengaja dihadirkan dalam setiap hajatan partai politik, menjelang Pemilu 1999. Kini kesenian itu menjadi simbol kebebasan setelah sebelumnya menjadi simbol represi.
Dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) No 6/2000 tentang pencabutan Instruksi Presiden (Inpres) No 14/1967 di satu sisi telah membawa eforia kebebasan mengekspresikan diri dari warga Tionghoa. Tetapi, di sisi lain menyiratkan berkembangnya ketegangan baru baik bagi komunitas Tionghoa sendiri maupun etnis lainnya.
Bagi sebagian masyarakat keturunan Tionghoa, Keppres ini seolah-olah menjadi titik balik yang menentukan bagi kembalinya hak-hak budaya etnis Tionghoa. Dengan begitu perayaan-perayaan pesta agama dan adat istiadat Cina yang dulu dibelenggu lewat Inpres No 14/1967 kini bisa dirayakan di mana-mana.
Langkah ini kemudian diperkuat oleh pemerintah dengan mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Agama RI Nomor 13 Tahun 2001 yang menetapkan Hari Raya dan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur fakultatif, membolehkan libur bagi pelajar dan pegawai etnis Tionghoa yang sedang merayakan Imlek.
Akan tetapi, sejumlah kekhawatiran tampaknya turut mengiringi terbukanya katup-katup kebebasan. Di balik munculnya Keppres No 6/2000, timbul pertanyaan, apakah Keppres ini akan mendorong ke arah demokratisasi, ataukah sebaliknya mendorong proses "pengtionghoaan" kembali warga keturunan Tionghoa di Indonesia?
Di sini tampaknya pandangan dua kelompok etnis Tionghoa perlu dikemukakan.
Pertama, mereka yang berbicara tentang meraih kembali identitas budaya yang dianggap semakin mengabur akibat berbagai faktor dari luar.
Kedua, kelompok yang berbicara tentang identitas nasional yang menekankan integrasi bangsa dan mengatasi identitas-identitas etnis yang beragam.
Dua generasi
Setidaknya perbedaan itu kelihatannya juga muncul dan diwakili oleh dua generasi yang berbeda. Generasi tua yang pernah mengenal secara mendalam budaya etnis Tionghoa baik melalui tradisi keluarga maupun pendidikan formal yang diterima di sekolah-sekolah Tionghoa sebelum pemerintahan Orde Baru, cenderung memiliki perspektif yang sangat diwarnai oleh sudut pandang etnisitas (ketionghoaan) yang bertumpu pada simbol-simbol etnis yang telah melembaga.
Sedangkan generasi muda yang lahir dan besar setelah Orde Baru lebih cenderung memiliki perspektif nasionalitas (keindonesiaan), karena latar belakang pendidikan mereka tidak lagi pendidikan Tionghoa melainkan "pendidikan Indonesia" yang diberikan melalui sistem pendidikan nasional yang seragam. Pengekangan selama Orde Baru terhadap tradisi Tionghoa juga menyebabkan generasi ini kurang tersosialisasi ke dalam budaya Tionghoa sebagaimana halnya generasi pendahulu mereka.
Selain dari segi bahasa dan pendidikan, agama dan pergaulan Tionghoa keturunan generasi baru juga menampakkan ciri yang berbeda dengan generasi pendahulunya, bahkan perilaku dan gaya hidup mereka seringkali sudah mengadopsi kebudayaan Barat. Globalisasi sangat relevan dengan kehidupan mereka, sehingga persoalan sekarang bagi mereka tidak lagi dalam tataran perjuangan etnis tetapi bagaimana peran mereka dalam kerangka nasional dan global.
Oleh karena itu, peluang untuk mengekspresikan identitas etnis yang dibawa oleh Keppres ini cenderung ditanggapi secara dingin oleh generasi muda dari Tionghoa keturunan pada umumnya, dan mereka lebih memilih menjadi penonton daripada berperan aktif dalam gerakan kebudayaan. Dalam dunia politik mereka juga cenderung mengikatkan diri ke dalam partai-partai yang bersifat pluralis, berbeda dengan kelompok yang pertama yang cenderung membangun basis etnisitas.
Di antara kedua ekstrem perbedaan itu sebetulnya muncul kelompok pandangan dengan penekanan pada asimilasi yang lebih mendasarkan segi praksis perilaku sosial warga keturunan Tionghoa. Mereka mengkhawatirkan gejala kebebasan etnis akan mengarah pada eksklusivisme dan meninggalkan asimilasi yang selama ini telah berjalan. Gejala seperti munculnya Partai Tionghoa Indonesia dan lembaga-lembaga sosial lain yang bernuansa etnis Tionghoa ditengarai akan mengarah pada perilaku eksklusif.
Pandangan dari kelompok ini pantas mengemuka mengingat sejarah pergumulan etnis Tionghoa di Bumi Nusantara ini sudah demikian lama dan kalau dirunut peranannya dalam membentuk konsep kebangsaan Indonesia sudah sedemikian jauh. Peranan mereka dalam sejarah penyebaran agama Islam maupun perkembangan bahasa Indonesia merupakan wujud asimilasi yang memiliki pengaruh besar dalam membentuk budaya bangsa Indonesia.
Tionghoa atau Cina?
Dialektika dalam mencari identitas yang sesuai tampaknya juga terus terjadi pada penggunaan sebutan etnis Tionghoa, suatu dinamika yang sesungguhnya memiliki akar sejarah yang panjang. Kini persoalan itu muncul kembali di era reformasi. Sebagian masyarakat etnis ini lebih memilih sebutan "Tionghoa" sedangkan yang lainnya dengan tegas mengakui etnisnya sebagai "Cina" sekalipun warga negaranya Indonesia.
Mereka yang memilih disebut Tionghoa menganggap bahwa sebutan ini lebih halus dan bernuansa etnik. Mereka menuntut Tionghoa diakui sebagai salah satu etnis yang sederajad dengan etnis-etnis lainnya. Sedangkan yang memilih sebutan Cina pada dasarnya bersandar pada sebutan internasional dan beranggapan bahwa sebutan "Tionghoa" tidak memiliki akar yang jelas dalam sejarah.
Kalau ditarik pada sejarahnya, tampaknya pemihakan terhadap sebutan Tionghoa lebih merupakan suatu protes atas peran negara dalam peniadaan hak untuk mendefinisikan dirinya. Dikeluarkannya Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No SE-06/Pres.Kab/6/1967 tentang Masalah Cina menjadi momentum yang membungkam hak mereka untuk mendefinisikan identitas.
Adanya ketentuan penyebutan dengan cara itu selama ini telah memaksa mereka menerima sebutan "Cina". Hingga tidak mengherankan jika dalam wacana kebebasan sekarang mereka mencoba menghapus stigmatisasi lewat sebutan.
Terlepas dari pentingnya membangun kesepakatan identitas lewat penyebutan etnis, tampaknya juga mulai timbul kesadaran untuk menekankan pada kebebasan individu masing-masing untuk menyebut etnis menurut apa yang disukainya.
Model identitas bangsa
Menguatnya identitas Cina di kalangan warga keturunan Tionghoa sebagai akibat eforia kebebasan pada saat ini, juga menjadi gejala yang cukup mengkhawatirkan sebagian orang. Di tengah konflik antar-etnis yang makin sering terjadi, penonjolan pada simbol-simbol bernuansa etnisitas dipandang kontraproduktif dan berpotensi menimbulkan masalah baru dalam hubungan kesukubangsaan.
Gejala ini menimbulkan pertanyaan yang cukup pelik, bagaimana sesungguhnya model kehidupan berbangsa yang ideal untuk Indonesia. Apa sebetulnya visi kebangsaan Indonesia? Kalau harus menyelesaikan persoalan etnis (Cina) di Indonesia, bagaimana caranya agar one for all solutions bisa tercapai?
Keluarnya Keppres No 6/2000 dipandang diskriminatif oleh sebagian kalangan dan malah memberi peluang yang tidak sama pada semua etnis, karena persoalan ekspresi agama dan budaya dalam kenyataannya tidak hanya dialami oleh etnis Tionghoa. Kalau kemudian perayaan etnis Tionghoa ditetapkan sebagai hari libur fakultatif, apakah tidak akan mendorong etnis-etnis lain menuntut hal yang sama?
Adalah sesuatu yang ganjil apabila kebebasan untuk mengekspresikan identitas etnik hanya berlaku bagi warga etnis Tionghoa, sementara bagi warga etnis lain tetap diterapkan konsep asimilasi atau pembauran antaretnis dan dibiarkan menyelesaikan persoalannya sendiri.
Kebijakan asimilasi yang selama ini diharapkan terjadi pada etnis Cina di Indonesia atau antara "pendatang" dan "penduduk setempat", seringkali menuntut pengorbanan dari tiap individu untuk tidak lagi menjalankan berbagai kebiasaan, kepercayaan, dan aktivitas sosio-kultural yang selama ini menjadi bagian penting dari identitas etniknya.
Menjadi masalah kemudian, apakah kebijakan sebaiknya lebih diarahkan pada asimilasi yang dapat menghasilkan suatu kultur baru akibat terjadinya cross-breeding antar-elemen sosial-budaya, ataukah membiarkan budaya tiap etnis termasuk-etnis Tionghoa-untuk mengembangkan dirinya sendiri? Ataukah negara dapat berperan mengakomodasi mereka yang berkeinginan melakukan asimilasi tetapi juga mengembangkan kebijakan multikultural.
Kalau demikian kebijakan negara seperti apa yang ideal untuk mengatur diversitas budaya? (LITBANG KOMPAS)