Selat Malaka Masih Menjadi Jalur Masuk Narkoba ke Indonesia
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Perairan perbatasan Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka masih menjadi salah satu jalur masuk peredaran narkoba internasional ke Indonesia. Oleh karena itu, kerja sama antarnegara dibutuhkan untuk memutus rantai peredaran narkoba di area tersebut.
Untuk itu, Direktur Tindak Pidana Narkoba Badan Reserse Kriminal Polri Brigadir Jenderal (Pol) Eko Daniyanto, pada Senin (4/2/2019), mengatakan, pihaknya akan berangkat ke Penang, Malaysia pada Maret 2019, guna memulai kerja sama dengan satuan anti narkoba kepolisian Malaysia, Jabatan Siasatan Jenayah Narkotik (JSJN), terkait pemberantasan jalur-jalur distribusi narkoba antara Indonesia dan Malaysia.
“Kami akan berangkat ke Penang, untuk kerja sama dengan JSJN dan melakukan joint operation,” kata Eko di Jakarta.
Eko mengatakan, ia juga berencana untuk menjalin kerja sama dengan tiga negara lainnya dalam menanggulangi penyelundupan narkoba di kawasan Asia Tenggara. Tiga negara dimaksud, Myanmar, Thailand, dan Australia. Bentuk kerja sama ini seperti saling bertukar informasi dan menggelar operasi bersama.
“Para sindikat ini berpikir bahwa kalau beroperasi di tengah perairan internasional itu tidak akan tersentuh hukum. Tetapi, nanti kami akan saling sharing informasi. Bagaimanapun, kita tidak bisa berdiri sendiri dalam penjagaan perbatasan,” kata Eko.
Rencana ini semakin relevan usai Direktorat Tindak Pidana (Dirtipid) Narkoba Bareskrim Polri membekuk dua sindikat penyelundupan narkoba internasional yang beroperasi di wilayah Sumatera Utara dan Aceh pada akhir Januari 2019 ini.
Tanah keramat
Tim Satuan Tugas Narcotics International Center (NIC) Polri berhasil menggagalkan peredaran 50 kilogram kristal putih sabu (crystal meth), 15.000 butir pil ekstasi, dan ribuan pil happy five yang berasal dari Malaysia.
Distribusi narkoba ini dicegah saat polisi menangkap sindikat pengedar beranggotakan kakak beradik laki-laki asal Tanjung Balai, Sumatera Utara, RM (38) dan AS (39) pada 27 dan 29 Januari 2019 lalu.
Modus penyelundupan yang dilakukan RM dan AS untuk mendapatkan narkoba dari Malaysia adalah dengan metode ship-to-ship. Kapal Malaysia bertemu dengan kapal nelayan dari Indonesia di tengah laut perairan Labuan Batu di sebuah koordinat yang telah disepakati.
Eko mengatakan, RM berperan sebagai pemilik kapal yang dipakai untuk mengangkut sabu dan ekstasi serta menentukan koordinat dan waktu pertemuan antarkapal sekaligus tempat penyimpanan narkoba.
Sementara itu, AS adalah awak kapal nelayan tersebut. Ia bertugas untuk menjemput narkoba di tengah laut kemudian menyimpannya di lokasi yang sudah ditentukan oleh RM. Narkoba ditanam di bawah tanah lumpur hutan bakau di tepi pantai.
“RM memilih lokasi itu karena dianggap tanah keramat oleh warga setempat, sehingga diharapkan tidak ada masyarakat yang berani mendekati penyimpanan itu,” kata Eko.
Sindikat di Aceh
Sekitar sepekan sebelumnya, Tim NIC Polri juga menangkap Aps (54), Ef (51), Jnd (43), Syl (41), Hs (30), dan Ah (47), anggota sindikat penyelundup narkoba yang beroperasi di wilayah Aceh. Dari tangan sindikat ini, polisi menyita 16 kilogram sabu.
Wakil Direktur Tindak Pidana Narkoba Komisaris Besar Krisno Siregar mengatakan, pihaknya juga menyita empat mobil mewah dan satu truk yang diduga keras merupakan hasil operasi penyelundupan mereka yang sudah berlangsung sejak 2016. “Ada Hummer, Toyota Camry, Mitsubishi Pajero, Honda CR-V, dan dump truck,” kata Krisno.
Kedua sindikat ini akan dikenakan Pasal 114 ayat (2) juncto Pasal 132 ayat (2) tentang perseorangan atau pemufakatan jahat yang menjual, menerima, menjadi perantara jual dan beli narkotika. Mereka diancam hukuman pidana mati atau pidana seumur hidup dan pidana denda minimal Rp 1 miliar dan maksimal Rp 10 miliar.
Krisno mengatakan, pihaknya juga akan bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk menyelidiki aset-aset harta kekayaan para anggota sindikat tersebut. Ia berencana untuk menjerat mereka atas dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
“Selain dengan ancaman hukuman mati, juga akan dikenakan TPPU. Ini supaya jaringan ini tidak bisa bergerak lagi,” kata Krisno.