BANDAR LAMPUNG, KOMPAS – Menjelang Imlek, kelenteng-kelenteng di Lampung terus berbenah. Pembenahan sudah dilakukan sebulan terakhir. Namun tahun ini perayaan Imlek di Lampung diselenggarakan lebih sederhana sebagai bentuk keprihatinan pada para korban tsunami di Lampung Selatan.
Selain pembersihan tempat berdoa, pembersihan juga dilakukan pada perlengkapan lain, seperti dupa, lilin besar, dan lampion. Pembersihan salah satunya tampak dilakukan di Wihara Thay Hin Bio, Bandar Lampung.
Ratusan lilin berbagai ukuran berjajar rapi di ruang ibadah. Lampion juga dipasang di jalan menuju kelenteng sebagai penghias serta peralatan peribadahan selama Imlek. "Proses pembersihan dilakukan sejak satu bulan lalu," ujar Marto, salah satu pekerja yang sedang membersihkan kelenteng, di Bandar Lampung, Senin, (4/2/2019).
Menurut dia, keramaian biasanya sudah mulai terlihat pada sekitar pukul 22.00 menjelang peratayaan tahun baru. Puncak kunjungan diprediksi akan terjadi pada Selasa pukul 00.00. Pergantian tahun dipercaya sebagai waktu yang tepat untuk menerima berkat.
Kunjungan umat yang hendak bersembahyang tahun ini diperkirakan akan terus berlangsung hingga hari Kamis mendatang. Para pengunjung mengucapkan syukur atas rezeki yang diterima pada tahun ini. "Biasanya mereka datang bersama keluarga untuk berdoa agar tahun yang baru lebih baik," ujarnya.
Lebih sederhana
Pemimpin Kerohanian Wihara Thay Hin Bio Johny Kardianto mengatakan, Imlek tahun ini dirayakan dengan lebih sederhana. Umat diminta lebih banyak berdoa dan tidak berlebihan dalam merayakan imlek.
Hal ini sebagai bentuk keprihatinan terhadap bencana tsunami yang terjadi di Lampung Selatan serta bencana alam lain yang banyak terjadi di Indonesia.
"Kami lebih menekankan agar umat berdoa secara tulus. Semoga pada tahun yang akan datang semua bisa hidup rukun, damai, dan bahagia," kata Johny.
Kami lebih menekankan agar umat berdoa secara tulus. Semoga pada tahun yang akan datang semua bisa hidup rukun, damai, dan bahagia.
Dia menambahkan, umat akan berdoa dengan membakar dupa dan lilin. Bagi umat Buddha, lilin merupakan simbol penerang yang memberikan cahaya dalam keadaan gelap gulita. Dengan membakar lilin, umat diharapkan dapat bersyukur atas segala cahaya dan berkah yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa tanpa pamrih.
Meski sederhana, kata dia, sejumlah anak muda di sekitar lingkungan wiraha tetap mengusulkan adanya pertunjukan barongsai. Setiap tahun, pertunjukan itu selalu ditunggu masyarakat sekitar. "Tahun ini, pertunjukan disiapkan oleh masyarakat sekitar wihara," ujarnya.