Pengendalian Tata Ruang Menjadi Tantangan Terbesar
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS—Pengendalian tata ruang menjadi tantangan terbesar dalam melaksanakan arahan Presiden untuk mengurangi risiko bencana ke depan. Dibutuhkan ketegasan untuk menegakkan tata ruang berbasis risiko, termasuk merelokasi masyarakat dari zona bahaya sebelum terjadinya bencana.
Persoalan ini terungkap dalam paparan sejumlah nara sumber dari kementerian terkait dalam Rapat Koordinasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Derah (BPBD) se-Indonesia, di Surabaya, Minggu (3/2/2019).
"Tata ruang seharusnya dapat merencanakan pada tahap pra-bencana, termasuk menentukan lokasi-lokasi cadangan lahan sebagai antisipasi sehingga penanganan pascabencana berjalan lebih cepat," kata Direktur Jenderal Tata Ruang Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Abdul Kamarzuki.
Sebagian daerah sebenarnya sudah memiliki peta rawan bencana dalam tata ruangnya, termasuk Kota Palu. Namun tata ruang yang ada kerap dilanggar sehingga korban jiwa dan kerugian ekonomi tetap tinggi. Pelanggaran yang paling sering terjadi meliputi larangan tinggal di sempadan sungai atau pantai.
Ia mencontohkan, Pasal 56 ayat 1, Peraturan Pemerintah 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) telah mengamanatkan sempadan pantai minimal 100 meter dari pasang laut tertinggi ke arah darat. Sempadan pantai, khususnya yang berfungsi sebagai sabuk hijau, ini dimaksudkan untuk menahan gelombang tsunami. Dalam praktiknya, hal ini kerap diabaikan, termasuk yang terjadi di Selat Sunda.
Abdul mengatakan, salah satu kunci untuk pengurangan risiko bencana adalah relokasi masyarakat di zona rentan sebelum terjadinua bencana. Namun demikian, hal ini praktinya sulit dilakukan, terutama karena rendahnya kesadaran masyarakat terhadap risiko bencana.
Persoalan lain adalah, penentuan relokasi pascabencana selalu dihadapkan dengan kompleksitas sosial, ekonomi, dan lingkungan. Setelah direlokasi masyarakat juga kembali ke lokasi bencana karena persoalan hak atas tanahnya masih ada.
Degradasi lingkungan
Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ida Bagus Putra Pratama, mengatakan pengurangan risiko bencana juga menghadapi persoalan degradasi lahan. Data KLHK menunjukkan, lahan kritis di Indonesia saat ini 14,01 juta hektar akibat tingginya deforestasi sehingga terjadi banjir, kekeringan, erosi dan sedimentasi. “Indonesia termasuk negara dengan laju sedimentasi tertinggi di dunia dengan rata-rata lebih dari 250 ton kilometer kubik per tahun,” kata dia.
Banjir dan longsor yang kerap terjadi, termasuk di Gowa, Sulawesi Selatan baru-baru ini salah satunya dipicu degradasi dan alih fungsi hutan. Data KLHK, luas kawasan hutan di Gowa yang telah beralih fungsi mencapai 53.664,9 ha atau 48 persen dari total hutan dan 17,7 persen dari luas daerah aliran sungai. “Alih fungsi lahan ini utamanya untuk pertanian lahan kering dan sawah, selain permukiman,” kata dia.
Alih fungsi lahan ini utamanya untuk pertanian lahan kering dan sawah, selain permukiman.
Sementera itu, Direktur Daerah Tertinggal, Transmigrasi dan Perdesaan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) Velix Vernandi Wanggai mengatakan, ke depan aspek kebencaan dan perubahan iklim akan dijadikan arus utama dalam seluruh sektor dalam pembangunan. Selain itu, kebencanaan akan dimasukkan kedalam kebijakan kewilayahan, sehingga memiliki strategi lebih jelas, termasuk mengakomodasi karakter lokal.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo memberikan enam arahan untuk mengurangi risiko bencana, salah satunya adalah pengendalian tata ruang di daerah (Kompas, 3/2). Kepala BNPB Doni Monardo, saat menutup Rakornas BNPB mengingatkan, enam arahan Presiden merupakan perintah yang harus dilaksanakan. Selain penegakan tata ruang berbasis risiko, arahan lain berupa pelibatan akademisi dan pakar, gubernur sebagai komandan tanggap darurat, pembangunan peringatan dini, pendidikan kebencanaan, dan simulasi atau latihan rutin untuk menghadapi bencana.