SUMENEP, KOMPAS — Toleransi dalam kehidupan masyarakat Pulau Madura, Jawa Timur, sempat tercoreng oleh peristiwa penyerangan terhadap kalangan umat Syiah di Sampang. Namun, secara umum, toleransi merupakan karakter kehidupan masyarakat Pulau Madura yang telah berlangsung berabad-abad, bahkan melewati milenium.
Orang Madura melalui Arya Wiraraja diyakini terlibat membantu Raden Wijaya berperang melawan tentara Tartar utusan Kaisar Kubilai Khan dari Mongolia di Pulau Jawa. Mereka turut membantu Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit yang diakui sebagai monarki terbesar yang pernah ada di Nusantara.
Pujangga Madura, KH Zawawi Imron, meyakini sisa-sisa laskar Madura menetap dan berketurunan di Manduro, Jombang. Sisa-sisa tentara Tartar dibawa ke bagian timur Pulau Madura yang saat ini merupakan wilayah administratif Pamekasan dan Sumenep.
Di dua kabupaten ini bukti toleransi antarumat beragama masih lestari dengan keberadaan tempat ibadah berbagai agama yang berdekatan dan terutama pengaruh budaya Tionghoa dalam arsitektur, makanan, dan sastra.
”Tanah Air kita indah, bahkan kehidupan masyarakatnya. Untuk mengurus yang indah diperlukan kepemimpinan dengan akhlak dan hati yang indah,” kata Zawawi dalam Sarasehan Kebangsaan Mengembangkan Budaya Toleransi ala Masyarakat Madura, Senin (4/2/2019), di Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika), Sumenep.
Sarasehan di Instika merupakan seri ketujuh diskusi kebangsaan yang digagas oleh Gerakan Suluh Kebangsaan yang diketuai oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Prof Mohammad Mahfud MD.
Sarasehan turut menghadirkan Mahfud, mantan Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Prof KH Abd A’la, mantan Khatib Aam Syuriah PBNU Prof KH Abdul Malik Madani, dan Rektor Instika Abbadi Ishomuddin.
Zawawi mengatakan, jika Aceh disebut Serambi Mekkah, Madura ialah halamannya. Masyarakat Madura amat setia terhadap ajaran agama. Mayoritas warga memang memeluk Islam. Di Madura, kepatuhan terhadap pemuka agama masih tinggi. ”Ada pepatah, maaf, sebajingan apa pun orang Madura masih hormat dengan kiai,” katanya.
Mahfud yang juga putra Madura mengatakan, dalam kehidupan beragama, setiap pemeluk harus teguh pada keyakinannya. Di Madura, umat Islam teguh dengan ajaran dan keyakinan, tetapi menerima komunitas beragama lain untuk hidup bersama. Di Wihara Avalokitesvara, Pamekasan, dalam kompleksnya juga terdapat pura, mushala, kelenteng, dan tempat ibadah bagi umat Tao. ”Ini bukti bahwa toleransi masih lestari dalam kehidupan orang Madura,” katanya.
Mahfud meyakini, toleransi atau kemauan bersama, meski berlatar belakang berbeda, merupakan modal dan karakter bangsa Indonesia. Sikap itu ditunjukkan lebih konkret dalam perilaku patriotik atau bela negara dengan berperang merebut kemerdekaan yang akhirnya diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Toleransi juga menyemangati kelahiran dasar negara Pancasila dan konstitusi UUD 1945.
”Madura memahami merupakan bagian penting dalam Indonesia sehingga seingat saya tidak ingin melepaskan diri. Merawat toleransi Madura juga merupakan upaya merawat keberagaman Indonesia,” kata Mahfud.
Abd A’la menambahkan, akhir-akhir ini bangsa diganggu dengan sejumlah upaya memecah belah. Antarumat beragama diadu domba dengan doktrin-doktrin keagamaan yang keras. Antarkelompok juga diadu domba dengan mengedepankan perbedaan. Padahal, di Indonesia, perbedaan merupakan keniscayaan, tetapi dapat hidup secara bersama dalam rumah kebangsaan.
”Selain itu, patut diwaspadai dan diperangi ialah serangan informasi bohong atau hoaks,” kata Abd A’la. Hoaks bukan berarti produk saat ini, melainkan sudah ada sejak lama. Sejumlah pejuang dari Madura, misalnya KH Abdullah Sajjad, pendiri Annuqayah, tewas ditembak Belanda pada Desember 1947. Sajjad ditembak saat kembali ke Madura setelah turut terlibat dalam Pertempuran Surabaya bersama Laskar Sabilillah melawan sekutu.
Sajjad kembali karena diceritakan bahwa kondisi di Madura sudah aman. ”Dia kembali karena merasa Madura aman, tetapi ternyata diketahui dan ditembak oleh Belanda,” kata Abd A’la. Dalam konteks saat ini, hoaks amat mengganggu kehidupan berbangsa dan bernegara. Masyarakat agar lebih kritis dalam menyikapi informasi yang ditengarai bohong atau tidak akurat.
Malik Madani mendorong masyarakat terlibat dalam Pemilihan Umum 2019 dengan memilih calon anggota DPD, DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Selain itu, memilih presiden dan wakil presiden periode 2019-2024. Perbanyak diskusi untuk mencari tahu latar belakang para kandidat. Jika kurang sreg, tetaplah memilih yang paling mendekati kebaikan. ”Memilihlah untuk mencegah yang buruk berkuasa,” katanya.
Pendeta Feri Joesoef dari Forum Kerukunan Umat Beragama Sampang mencontohkan, di antara empat kabupaten di Madura, sampai saat ini Sampang yang terbelakang. Bahkan, dianggap juga terbelakang dalam toleransi kehidupan. ”Padahal, sejak TK saya hidup di Sampang dan belum pernah menghadapi kendala dalam kehidupan beragama,” katanya.
Menurut Feri, kunci kehidupan yang toleran dan patut diperjuangkan semua pemuka ialah kesejahteraan, keadilan, dan supremasi hukum.