Debitor di Sulawesi Tengah Tunggu Putusan Presiden
Oleh
Videlis Jemali
·3 menit baca
PALU, KOMPAS — Para debitor penyintas gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi di Sulawesi Tengah menunggu putusan presiden terkait perjuangan pemutihan utang mereka. Perjuangan pemutihan utang didasarkan pada alasan kemanusiaan, yakni kondisi keterpurukan penyintas pascabencana.
Hal itu disampaikan Ketua Forum Perjuangan Pemutihan Utang Sulteng Sunardi Katili di Palu, Sulteng, Senin (4/2/2019). Ia menyatakan hal itu menanggapi pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla terkait perjuangan penghapusan atau pemutihan utang penyintas bencana di Sulteng pada Kamis (31/1).
Seusai memimpin rapat koordinasi penanganan bencana, kepada wartawan, Wapres Kalla menyatakan tak ada penghapusan utang. Mekanisme yang ada ialah relaksasi dalam bentuk keringanan atau penangguhan pembayaran kredit.
”Apa yang disampaikan Wapres bukan putusan final. Kami sudah berjuang dan menunggu putusan presiden sebagai kepala pemerintahan dan negara,” kata Sunardi.
Ia menjelaskan, forum sudah pernah menyurati Presiden Joko Widodo terkait permohonan penghapusan utang bagi penyintas bencana di Sulteng. Untuk mendukung itu, pihaknya telah bertemu dengan Ketua DPR Bambang Soesatyo.
Dari pertemuan itu dijanjikan akan dibentuk panitia kerja untuk membahas perjuangan pemutihan utang penyintas di Sulteng.
Sunardi mengatakan, penghapusan utang karena bencana punya dasar hukum yang kuat sebagaimana tercantum dalam Pasal 1224 dan 1225 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Disebutkan penghapusan utang bisa dilakukan karena keadaan memaksa (overmacht). Bencana alam merupakan salah satu bentuk keadaan memaksa.
Sunardi menegaskan, perjuangan pemutihan utang didasarkan pada alasan kemanusiaan. Saat ini penyintas sedang memulihkan ekonomi keluarga setelah anggota keluarga mereka meninggal dan harta benda mereka hancur karena gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi pada 28 September 2018 di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala.
”Berikan keringanan beban penyintas dengan penghapusan utang-utang mereka,” katanya.
Forum Perjuangan Penghapusan Hutang menerima 25.000 formulir dari debitor untuk perjuangan penghapusan utang. Debitor yang bergabung adalah mereka yang memiliki kredit di bawah Rp 500 juta. Forum mencatat total pinjaman yang disampaikan debitor Rp 1,5 triliun-Rp 2 triliun.
Saat ini, debitor menikmati keringanan pembayaran kredit dengan mekanisme penundaan pembayaran dari bank atau lembaga pembiayaan. Penundaan pembayaran kredit bervariasi, dari 3 bulan, 6 bulan, 1 tahun, hingga 3 tahun pascabencana.
Saat ditanya mengapa forum tidak fokus pada penyintas yang obyek kreditnya tidak ada lagi karena tsunami dan likuefaksi, Sunardi menilai bencana seperti yang terjadi di Sulteng berdampak sistemik. ”Walaupun obyek kreditnya masih ada, penyintas tak memiliki kekuatan seperti sediakala untuk membayar kredit. Jadi, tidak bergantung pada obyek kreditnya,” ucapnya.
Jufri Lapala (44), penyintas likuefaksi di Perumnas Balaroa, Kelurahan Balaroa, Kecamatan Palu Barat, mengatakan, dirinya masih berharap adanya penghapusan utang.
”Saya membayar Rp 2 juta per bulan untuk tujuh tahun ke depan. Sementara rumah dan tempat usaha saya sudah tidak ada karena likuefaksi. Saya minta pemerintah perlu mempertimbangkan dengan baik kondisi kami,” katanya.