Keterbatasan lahan kerap kali menjadi alasan orang untuk tidak bertani di Ibu Kota. Namun tidak demikian halnya dengan warga Cikini. Sudah lama mereka bertani di lahan sempit di tengah permukiman padat penduduk. Bahkan sejak 2015, kelompok tani dibentuk.
Oleh
·4 menit baca
Keterbatasan lahan kerap kali menjadi alasan orang untuk tidak bertani di Ibu Kota. Namun, tidak demikian halnya dengan sebagian warga Cikini. Sudah lama mereka bertani di lahan sempit di tengah permukiman padat penduduk. Bahkan, sejak 2015, kelompok tani dibentuk. Hasil bertani lumayan, salah satunya bisa mengurangi pengeluaran bulanan hingga 50 persen.
Ketika tiba di permukiman padat penduduk di bantaran Kali Ciliwung, yang berada di daerah Cikini, deretan berbagai jenis tanaman sayuran dan buah di dalam pot plastik terlihat mempercantik kampung. Terlebih sebagian tanaman ditempatkan di tepi kali, menutup pemandangan kali yang tak sedap dipandang.
Sebagian dari tanaman itu, terlihat ada yang baru ditanam, seperti kubis. Namun, tidak sedikit pula, yang tinggal menunggu waktu panen, seperti sawi dan cabai.
Di luar itu, tanaman seperti jambu biji, jeruk, bayam, kangkung, jahe, kunyit, dan sirih masih dalam proses pertumbuhan.
Pertanian di Cikini tersebut buah dari kerja keras kelompok tani, Sehati. Kelompok tani yang dibentuk pada tahun 2015 itu kini beranggotakan 15 orang.
”Siapa bilang di Jakarta tidak bisa bertani? Kami memang tidak punya tanah, tapi kami bisa bertani. Tidak ada yang tidak mungkin kalau kita bersungguh-sungguh,” kata Agus Dian (58), petani Cikini yang tergabung dalam Sehati, saat ditemui di rumahnya di RT 017 RW 003 Kelurahan Cikini, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (2/2/2019).
Agus menjadi petani bersama istrinya, Yani Sumarni (59), yang dipilih para anggota kelompok Sehati untuk memimpin Sehati.
Selain lahan yang tidak menjadi kendala bagi keduanya, ketiadaan latar belakang ilmu bertani juga tak menjadi penghalang untuk bertani.
Setiap kali panen, menurut Agus, Sehati mampu menghasilkan belasan kilogram sayuran, buah-buahan, atau tanaman obat keluarga.
Saking banyaknya, tidak semua bisa dikonsumsi sendiri. Selalu masih ada sisa untuk dibagi kepada warga yang tak terlibat dalam Sehati. Selain itu, selalu ada sisa untuk dijual kepada mereka yang berminat.
Keuntungan bertani
Dengan bertani, banyak keuntungan yang diperoleh petani Cikini. Sebagai contoh, saat harga sayuran ataupun buah berfluktuasi mengikuti ketersediaan barang di pasaran, petani Cikini tak terpengaruh sebab produk-produk tersebut tinggal mereka petik dari kebun.
”Mau harga cabai naik atau turun tidak ada pengaruhnya untuk saya. Jika butuh, sewaktu-waktu saya bisa langsung memetik,” kata Yani.
Tak hanya itu, menurut Yani, pengeluaran bulanan bisa terpangkas hingga lebih kurang 50 persen setelah bertani.
Dia ingat betul, sebelum bertani, keluarganya bisa menghabiskan uang untuk belanja sayur dan buah hingga Rp 50.000 per hari. Namun setelah bertani, Yani hanya mengeluarkan uang Rp 15.000-Rp 20.000 per hari.
Selain petani, warga yang tak ikut bertani juga meraup untung dengan pertanian di Cikini. Hal ini seperti disampaikan Nani (67), warga yang tak ikut menjadi petani.
”Kami yang bukan anggota kelompok tani juga terbantu dengan hasil pertanian ini. Saya bersyukur di perkampungan yang sempit begini bisa disulap menjadi lahan pertanian,” ucap Nani.
Bantuan pemerintah
Besarnya dampak dari aktivitas pertanian di Cikini ini tidak luput dari perhatian pemerintah, baik pemerintah daerah maupun Pusat.
Menurut Yani, tidak jarang petugas atau pejabat dari Kementerian Pertanian, Badan Ketahanan Pangan dan Koordinasi Penyuluhan DKI Jakarta, Wali Kota Jakarta Pusat, Camat Menteng, dan Lurah Cikini berkunjung.
Selain memberikan masukan kepada petani, dan mendorong warga agar tetap semangat bertani, juga terkadang membeli hasil panen petani.
”Terkadang mereka datang pada saat kami panen. Tak sedikit dari mereka juga membeli hasil panen kami,” kata Yani.
Pemerintah juga kerap kali memberikan bantuan. Bantuan yang diberikan seperti bibit tanaman, pupuk, dan media tanam.
Survei Litbang Kompas
Dikutip dari Kompas (18/11/2018), pertanian kota atau urban farming dikenal sejak abad ke-19 sebagai alternatif solusi menjamin ketahanan pangan.
Kala itu Jerman membangun taman bernama Allotment Garden untuk menghadapi ancaman kelaparan. Saat Perang Dunia II, Amerika Serikat mencanangkan program Victory Garden dengan bercocok tanam di sela lahan kota. Ini memasok 40 persen pangan warga.
Di Indonesia, konsep bertani di lahan perkotaan dengan metode bertanam yang efektif di lahan terbatas marak 10 tahun terakhir.
Masifnya penyebaran informasi dan edukasi tentang urban farming membuatnya menjadi tren gaya hidup baru perkotaan. Sejalan dengan itu, metode ilmu pertanian pun berkembang dengan cara bertanam yang lebih aplikatif untuk perkotaan.
Jajak pendapat Kompas akhir Oktober lalu menangkap, lebih dari 90 persen responden optimistis jika pertanian kota mungkin dilakukan. Lebih dari separuh warga menyatakan, bercocok tanam bisa dilakukan dengan media tanam pot yang disusun vertikal.
Hilangkan stres
Hasil dari bercocok tanam tersebut tidak hanya untuk dijual atau mengurangi pengeluaran bulanan, tetapi juga mampu menjadi medium menghilangkan stres, bahkan dan mampu membuat jauh lebih bahagia.
Setidaknya terdapat 17 persen responden selebihnya sepakat bahwa berkebun menjadi salah satu menyalurkan hobi.
Hasil studi di City University, London, menjelaskan, kontak teratur dengan tanaman, hewan, dan lingkungan alami dapat meningkatkan kesehatan mental.
Meski demikian, banyak faktor yang membuat orang di kota enggan menggeluti pertanian. Separuh lebih mengungkapkan keterbatasan lahan menjadi penyebabnya. Selain itu, 23 persen justru beralasan tidak memiliki waktu luang dan merasa repot jika harus mengurus tanaman. (KRISTI DWI UTAMI)