JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akan menahan rencana diversifikasi denominasi surat utang negara selain dalam dollar AS, euro, dan yen pada tahun ini. Namun, kebijakan tersebut masih mungkin berubah tergantung perkembangan pasar dan risiko perekonomian global.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan yang dikutip Kompas, Minggu (3/2/2019), kebutuhan pembiayaan atau utang tahun 2019 sebesar Rp 833,93 triliun. Utang sebesar itu untuk membiayai defisit APBN Rp 296 triliun, jatuh tempo utang Rp 474,68 triliun, dan non-utang berupa investasi dan pemberian pinjaman Rp 63,25 triliun.
Adapun target penerbitan SBN bruto sebesar Rp 825,7 triliun, sedangkan SBN neto sebesar Rp 388,96 triliun.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman menjelaskan, setiap tahun pemerintah menerbitkan surat utang negara (SUN) dengan denominasi valuta asing untuk membiayai belanja dalam negeri. Ada tiga SUN valas yang akan diterbitkan, yaitu dalam dollar AS (US treasury), euro (euro bond), dan yen (samurai bond).
”Kami cukup nyaman dengan empat jenis surat utang global itu, yaitu dollar AS dalam surat utang global konvensional dan sukuk global, samurai bond, dan euro bond,” kata Luky.
Indonesia memiliki peluang besar untuk menerbitkan jenis obligasi global baru, seperti panda bond dalam mata uang yuan China, formosa bond mata uang Taiwan, blue bond yang bergerak di bidang kelautan, dan catastrope bond bidang asuransi bencana alam. Namun, lanjut Luky, penerbitan obligasi baru harus mempertimbangkan dinamika global dan komitmen yang bakal ditanggung Indonesia.
Penerbitan obligasi baru harus mempertimbangkan dinamika global dan komitmen yang bakal ditanggung Indonesia.
Salah satunya sinyal bank sentral AS, Federal Reserve, yang akan menahan kenaikan suku bunga acuan sehingga tren biaya bunga utang akan positif. ”Tapi ini baru satu situasi. Kita tidak bisa menjamin kondisi pasar akan bagus terus. Kami tetap berhati-hati menentukan arah kebijakan dan mempersiapkan berbagai skenario kebijakan,” kata Luky.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, berpendapat, diversifikasi denominasi SUN tetap perlu dilakukan meskipun tren rupiah terhadap dollar AS menunjukkan penguatan. Diversifikasi juga berkaitan dengan strategi mencari calon investor di luar pasar tradisional, seperti AS, Eropa, dan Jepang.
Misalnya, pemerintah dapat menerbitkan green sukuk atau sukuk hijau dalam mata uang yuan China. Tujuannya untuk memperluas basis dan potensi investor masa depan. ”Pemerintah sebaiknya tidak hanya melihat dalam jangka pendek. Diversifikasi harus jalan terus karena risiko dollar AS berbalik arah menguat masih ada,” ujar Bhima.
Pemerintah sebaiknya tidak hanya melihat dalam jangka pendek. Diversifikasi harus jalan terus karena risiko dollar AS berbalik arah menguat masih ada.
Prioritas kebijakan pemerintah, kata Luky, memperluas basis investor domestik. Pada 2019, SBN yang akan diterbitkan dalam rupiah mencapai Rp 705,7 triliun, sementara dalam valas sekitar Rp 120 triliun. Perluasan basis investor domestik juga dengan menerbitkan kembali sukuk hijau tahun ini.
Aman dan murah
Sebelumnya, dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan, pekan lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, strategi pembiayaan tahun ini akan melihat atau mempertimbangkan kondisi pasar di dalam dan luar negeri.
Pertimbangan itu terutama kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS yang akan memengaruhi tren biaya bunga utang. Skema pembiayaan dicari yang paling aman dan murah.
Di sisi lain, pemerintah tetap melakukan diversifikasi instrumen agar pembiayaan tidak semakin membebani APBN, serta mempertajam strategi pendalaman pasar keuangan bersama Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia. Basis investor diarahkan pada kelompok milenial karena jumlahnya akan semakin mendominasi.
Saat ini rasio utang pemerintah pusat sebesar 29,9 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Hingga Desember 2018, total utang pemerintah mencapai Rp 4.418,3 triliun terdiri dari pinjaman Rp 805,62 triliun dan SBN sebesar Rp 3.612,69 triliun. Porsi SBN denominasi rupiah 72 persen, sementara denominasi valas 28 persen.
Tuduhan
Dituduh sebagai ”Menteri Pencetak Utang” oleh sejumlah pihak dari kelompok oposisi, Sri Mulyani pun angkat bicara. Dia mengunggah tujuh foto yang menjelaskan kinerja dan penggunaan utang dalam akun Instagram pribadinya. Foto itu disukai lebih dari 230.000 orang dan memunculkan 24.000 komentar.
Rasio utang masih jauh di bawah batas aman yang ditetapkan undang-undang, yaitu 60 persen terhadap PDB. Luky berpendapat, rasio utang Indonesia juga lebih rendah di bandingkan dengan negara tetangga.
Misalnya, rasio utang Pemerintah Jepang terbesar di dunia mencapai 200 persen PDB, Amerika Serikat 107 persen PDB, Malaysia 50 persen PDB, serta Thailand dan Filipina 42 persen PDB.