Liga sepak bola usia muda yang tidak merata di setiap daerah membuat sejumlah pesepak bola belia harus menembus ratusan kilometer demi mengasah pengalaman bertanding. Bagi anak-anak itu, berkesempatan mengikuti liga merupakan kemewahan.
Jarak ratusan kilometer antara Bandung dan Jakarta tidak menghalangi Tabernacle Rayberson Emerson Boni berpartisipasi di Liga Kompas Kacang Garuda U-14. Tabe, sapaan akrabnya, rela menempuh jarak 153 kilometer setiap akhir pekan untuk mencicipi liga sepak bola usia muda. Pertandingan Liga Kompas setiap pekan berlangsung di lapangan GOR Ciracas, Jakarta Timur.
Di kota kelahirannya, Bandung, liga sepak bola usia muda sangat terbatas. Kalaupun ada, kebanyakan hanya berformat turnamen dan bukan liga yang berkesinambungan. ”Di Bandung ada kompetisi, tapi tidak rutin dan durasinya singkat,” ujar Tabe.
Tak ayal, jam bertanding bagi pemain usia muda juga minim. Padahal, mereka lebih membutuhkan liga yang berdurasi panjang.
Menyadari turnamen jangka pendek tidak akan membuat dirinya berkembang, Tabe mencoba kesempatan untuk tampil di Liga Kompas. Ia memutuskan bergabung dengan sekolah sepak bola Jakarta Football Academy (SSB JFA).
”Dari liga ini, saya bisa merintis karier menjadi pesepak bola profesional. Banyak jebolan Liga Kompas yang direkrut klub profesional dan tim nasional Indonesia,” ujar Tabe.
Untuk menggapai mimpinya, Tabe setiap akhir pekan ke Jakarta. Bila JFA mengadakan latihan Sabtu sore, ia menumpang mobil travel dari Bandung pada Sabtu pagi. Seusai mengikuti latihan Sabtu sore, Tabe menumpang tidur di rumah Pelatih JFA Winaryo.
Bila tak mengikuti latihan Sabtu sore, Tabe akan berangkat dari Bandung pada Minggu pukul 04.00 agar bisa tiba tepat waktu di GOR Ciracas. Sore hari setelah bertanding, Tabe kembali ke Bandung karena harus bersekolah pada Senin pagi.
Menjalani rutinitas seperti itu membuat Tabe kelelahan. Terkadang ia jatuh sakit setelah tiba di Bandung. Saat ujian tengah semester, Tabe harus belajar di mobil travel. ”Tapi tidak apa-apa. Saya nikmati saja demi cita-cita,” ucap Tabe yang menjadi salah satu tumpuan di lini tengah.
Perjuangan serupa untuk mencecap liga usia dini juga dijalani ujung tombak SSB Matador Mekarsari, Topan Abdillah. Pelajar kelas IX SMPN 1 Cikarang Pusat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, itu, menempuh jarak 33 kilometer menuju lokasi latihan SSB Matador Mekarsari di Cileungsi, Bogor. Topan selalu diantar ibunya menggunakan sepeda motor ke tempat latihan.
Lokasi latihan yang relatif jauh cukup membuat Topan lelah. Sepulang sekolah, ia langsung berganti pakaian dan berangkat latihan. Rutinitas itu ia jalani karena di Cikarang Pusat belum ada liga sepak bola usia muda. ”Karena itu, saya bergabung di Matador Mekarsari supaya bisa ikut Liga Kompas juga,” ujar Topan yang bermain sebagai penyerang tengah.
Pemerataan Liga
Mengutip esai Raphael Honigstein di ESPN berjudul How Germany Used Youth and Coach Development to Get Back to the Top, disebutkan betapa negara juara Piala Dunia 2014 di Brasil itu mengalihkan perhatiannya pada pembinaan usia muda usai gagal total di Piala Eropa 2000 di Belanda dan Belgia.
Petinggi sepak bola di Jerman menyadari mereka terlampau mengandalkan pemain berumur di Piala Eropa 2000. Federasi sepak bola Jerman kemudian menganggarkan tidak kurang dari 20 juta euro untuk menyelenggarakan liga usia muda dan membangun pusat latihan di berbagai wilayah.
Hasilnya, Jerman kini menjadi tim yang seolah tidak pernah kehabisan talenta. Penantian panjang mereka berbuah manis. Jerman yang menurunkan mayoritas pemain belia mengalahkan Cile di partai final dan mengunci gelar juara Piala Konfederasi 2017 di Rusia untuk kali pertama dalam sejarah.
Jika di Pulau Jawa masih ada pesepak bola yang harus menempuh ratusan kilometer demi berkompetisi. Bisa dibayangkan betapa mewahnya liga sepak bola usia muda bagi pesepak bola belia di daerah-daerah terpencil. Padahal, tidak jarang pemain muda berbakat justru ditemui di kawasan pelosok Indonesia.
Liga sepak bola usia muda yang tak merata membuat bakat-bakat di daerah itu tidak terpantau di permukaan. Mereka berakhir menjadi pesepak bola bermutu yang tidak akan pernah dimiliki timnas Indonesia.